Rabu, 03 November 2010

KAJIAN KRITIS

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pemahaman yang diberikan terhadap suatu bacaan menjadi variatif apabila bacaan itu ditinjau dari sudut pandang yang berbeda. Pemahaman menjadi lebih kaya lagi apabila ditinjau oleh pembaca dengan latar belakang yang berbeda pula. Sebuah bacaan dapat menjadi bermakna bagi seseorang, tetapi belum tentu bermakna bagi orang lain. Di sinilah dibutuhkan sebuah kajian mendalam tentang suatu bacaan untuk mengungkap berbagai makna yang terkandung di dalamnya. Eriyanto (2003:87) mengemukakan bahwa pembaca dan bacaan secara bersama-sama mempunyai andil yang sama dalam memproduksi pemaknaan, dan hubungan itu menempatkan seseorang sebagai suatu bagian dari hubungannya dengan sistem tata nilai yang lebih besar di mana dia hidup dalam masyarakat. Pernyataan ini semakin menguatkan bahwa posisi pembaca menempati tempat yang sangat penting dalam pemaknaan suatu bacaan. Jadi, bacaan dan pembaca mempengaruhi kedalaman informasi yang dapat digali dari suatu bacaan. Untuk itu, keduanya perlu dicermati lebih lanjut agar tujuan akhir pembaca dalam menelusuri huruf demi huruf dapat dicapai.
Idealnya, seluruh ide yang disampaikan oleh penulisnya dapat dipahami pembaca sesuai keinginan penulisnya, tetapi hal ini tidaklah mungkin dapat dicapai sebab skemata yang dimiliki oleh pembaca pastilah berbeda dengan skemata yang dimiliki oleh penulis. Makna suatu bacaan dipengaruhi oleh skemata tersebut. Pemaknaan yang diberikan oleh pembaca dapat saja jauh melampaui pemaknaan yang diberikan oleh penulis. Agar tidak terlalu jauh menyimpang antara keduanya, dibutuhkan suatu strategi khusus untuk menjembatani. Karakteristik bacaan dapat pula menciptakan jurang pemahaman antara pembaca dan penulis. Bacaan yang disajikan secara deduktif dan induktif memiliki perbedaan mencolok dalam penyajian. Dibutuhkan cara yang berbeda dalam pemahamannya. Selain itu, bacaan yang disajikan secara argumentatif, eksploratif, naratif, deskriptif, atau persuasif menuntut tingkat perhatian yang berbeda.
Selain faktor pembaca dan cara penyajian bacaan, satu hal penting lagi yang turut mempengaruhi tingkat pemahaman terhadap suatu bacaan, yaitu pesan/isi yang disajikan. Lingkup materi bacaan dapat menuntut perhatian yang berbeda dalam pemahaman isi bacaan. Dua persoalan utama yang berkenaan dengan isi bacaan, yaitu bacaan tersebut menguraikan bidang teoretis ataukah terapan. Umumnya, bacaan teoretis menuntut perhatian yang lebih cermat dibanding bacaan terapan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya istilah teknis yang digunakan untuk mengurai bacaan yang bersifat teoretis dan biasanya istilah itu hanya dapat dipahami dengan baik oleh mereka yang berkecimpung dalam bidang keilmuan terkait.
Dengan adanya sejumlah faktor yang menentukan tingkat pemahaman pembaca terhadap suatu bacaan, maka bilamana faktor-faktor tersebut diabaikan, maksimalisasi pemahaman isi bacaan tidak akan diperoleh. Untuk itu, dibutuhkan pelatihan khusus untuk memperoleh pemahaman bacaan tersebut secara utuh. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengasah keterampilan untuk memahami isi suatu bacaan adalah berlatih menerapkan kajian kritis. Telaah kajian kritis di Indonesia masih langka ditemukan. Kajian yang ada barulah kajian yang disebut dengan analisis wacana kritis. Pendekatan ini lebih bersifat kajian isi wacana yang mempengaruhi komunitas luas dalam bertindak dan berpikir. Dalam bidang kewacanaan, analisis wacana kritis dikembangkan oleh sejumlah ahli, yaitu Jurgen Habermas, Michel Foucault, Antonio Gramsci, dan Louis Althusser. Pengkajian dengan pendekatan tersebut memiliki tujuan yang tidak persis sama dengan yang dimaksudkan dalam tulisan ini.
Kajian kritis yang dimaksudkan dalam tulisan ini mengarah ke kajian yang bersifat praktis. Kajian tersebut berupa kajian isi wacana untuk memahami isinya yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk membantu menuliskan suatu gagasan ilmiah atau mungkin suatu pengembangan teori dalam suatu penelitian atau penulisan artikel. Tujuannya agar pembaca dalam hal ini guru dapat menggunakan sejumlah sumber informasi untuk menjadi rujukan dalam menghasilkan suatu karya tulis ilmiah.
Salah satu program yang membutuhkan kajian kritis yang saat ini sedang diluncurkan oleh pemerintah adalah program BERMUTU (Better Education Reform through Univesal Teacher Upgrading). Program ini merupakan salah satu upaya untuk peningkatan mutu pendidikan secara menyeluruh. Jaringan pemandunya telah disediakan sejak dua tahun terakhir ini. Pada tingkat pusat dikenal adalan NCT (National Core Team), pada tingkat provinsi tersedia PCT (Provincial Core Team), dan pada tingkat kabupaten tersedia DCT (District Core Team). Mereka berkolaborasi memicu peningkatan kualitas pendidikan melalu program KKG dan MGMP.
KKG dan MGMP dipilih sebagai tempat pelaksanaan program karena organisasi tersebut paling dekat dengan guru dan paling luas cakupannya untuk menghimpun guru dalam pembahasan persoalan pembelajaran di sekolah. KKG dan MGMP selama ini mendapat perhatian yang besar dari berbagai pihak. PMPTK, Dinas pendidikan provinsi/kabupaten, dan sejumlah LSM memberi perhatian yang banyak terhadap revitalisasi peran KKG dan MGMP sebagai ajang dalam memajukan pendidikan termasuk peningkatan kualifikasi guru.
Ciri utama program bermutu adalah penggunaan pendekatan Lesson Study, PTK (Penelitian Tindakan Kelas) dan Studi Kasus secara terintegrasi dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran. Ketiga pendekatan ini membutuhkan kajian kritis. Lesson study membutuhkan kajian kritis dalam rangka memperkaya sumber untuk penyelesaian sejumlah permasalahan yang dikemukakan dalam forum diskusi guru. PTK membutuhkan kajian kritis dalam rangka pengembangan kajian teori yang akan dijadikan pisau analisis dalam menjawab pertanyaan penelitian. Selain itu, kajian kritis akan memberikan kontribusi yang besar dalam menyusun proposal dan laporan PTK. Studi kasus membutuhkan kajian kritis dalam rangka pengembangan permasalahan yang dialami guru dalam pembelajaran. Melalui kajian kritis guru dapat membentangkan perbandingan antara pengalaman yang telah dialaminya dengan pengalaman yang telah dialami oleh orang lain melalui tulisan yang dihasilkannya. Kajian kritis dapat mempertemukan sejumlah gagasan orang yang dapat menjadi pijakan dalam penulisan dan penyelesaian kasus yang ditemukan guru.
Modul suplemen ini dimaksudkan untuk membantu guru dalam mengembangkan kemampuan membaca. Selanjutnya diharapkan dapat mengasilkan tulisan ilmiah yang akurat dan tepercaya sebagai salah satu kegiatan pengembangan profesi.

B. Alokasi Waktu

Alokasi waktu yang diberikan dalam materi diklat kajian kritis untuk peserta program KKG dan MGMP BERMUTU adalah 4 x 45 menit.

C. Tujuan

Tujuan penulisan kajian kritis dalam bentuk modul suplemen untuk KKG dan MGMP sebagai berikut.
1. Memberikan pemahaman tentang konsep kajian kritis.
2. Menguraikan tentang manfaat melakukan kajian kritis
3. Memberikan tips dan kiat melakukan kajian kritis
4. Memberikan keterampilan menuliskan laporan hasil kajian kritis
5. Memanfaatkan hasil kajian kritis dalam penulisan kajian teori dalam PTK dan penulisan artikel.

D. Sasaran

Sasaran modul suplemen ini adalah peserta diklat BERMUTU yang dilaksanakan di berbagai wilayah di tanah air, meliputi: Guru SD dan SMP yang terlibat dalam kegiatan Program BERMUTU, Kepala Sekolah dan Pengawas sekolah yang terlibat dalam kegiatan Program BERMUTU, PCT dan NCT dalam Program BERMUTU.

E. Manfaat

Manfaat modul suplemen kajian kritis ini adalah sebagai berikut.
1. Memberikan pedoman bagi guru cara melakukan kajian kritis terhadap bahan bacaan atau artikel
2. Memberikan pedoman pada guru untuk menilai apakah suatu artikel layak sebagai dirujuk dalam menyusun PTK atau makalah/artikel ilmiah
3. Memberikan pedoman cara menggunakan hasil kajian kritis dalam menyusun makalah/ artikel almiah atau untuk membantu merumuskan masalah dan menemukan solusinya.

BAB II. KAJIAN KRITIS TEORITIS





A. Keterbacaan

Sebuah bacaan yang sebelumnya di dalamnya tidak ada satu pun rumus matematika menarik, katakanlah, 5.000 pembaca. Ketika satu rumus matematika ditambahkan pada bacaan tersebut, maka menurut suatu pengamatan pembacanya akan berkurang setengahnya menjadi 2500 pembaca. Dengan ditambahkan pada bacaan awal dua rumus matematika, kita dapat melakukan inferensi dengan mengatakan pembaca mungkin berkurang sampai seperempatnya, menjadi 1250 pembaca. Demikian seterusnya dengan penambahan 3,4, dst. rumus matematika.
Mengamati fenomena berkurangnya pembaca sehubungan dengan jumlah rumus matematika yang terdapat di dalamnya, kita dapat mengajukan teori sederhana: orang umumnya tidak menyenangi bacaan sulit dan bacaan sulit diantaranya ditandai dengan banyak tidaknya rumus matematika. Bacaan tersebut mungkin dari berbagai jenis (populer atau spesifik keilmuan) atau mungkin dengan berbagai susunan paradigmatik (sebab-akibat, pemecahan masalah, analisis, dst.).
Fenomena berkurangnya pembaca sehubungan dengan jumlah rumus matematika yang terdapat di dalamnya dapat dikatakan sebagai fenomena keterbacaan suatu bacaan. Severin dan Tankard (1988:72) mengulas buku Gray dan Leary (1935) yang berjudul What Makes a Book Readable. Mula-mulanya mereka menemukan ada 289 unsur yang berkontribusi keterbacaan buku oleh orang dewasa dengan pendidikan terbatas. Jika unsur yang berkaitan dengan format, isi dan pengorganisasian bacaan dibuang, maka terdapat 82 unsur yang berkaitan dengan gaya. Dalam 82 unsur tersebut terdapat unsur-unsur tidak terukur seperti kata-katanya sangat puitis dan sastrawi yang jika dibuang tersisa 64 unsur. Penelitian lebih lanjut menunjukkan 44 dari 64 unsur tersebut muncul cukup sekurang-kurangnya sekali dalam tiap bagian bacaan yang diteliti. Akhirnya, 21 dari 44 unsur dimaksud mempunyai korelasi signifikan dengan kesulitan membaca sebagaimana diukur dengan skor pemahaman makna paragraf. Rumus akhir dari keterbacaan Gray-Leary dinyatakan dengan rumus berikut.

X1 = -0.01 X2 + 0.09 X5 – 0.02 X6 – 0.03 X7 – 0.01 X8 + 3.8

Di mana: X1 = Skor membaca.
X2 = Kata-kata sulit (tidak termasuk ke dalam 756 kata kata mudah) dalam wacana yang terdiri atas 100 kata.
X5 = Jumlah kata ganti orang pertama, kedua dan ketiga.
X6 = Panjang rata-rata kata-kata.
X7 = Persentase kata-kata yang beda.
X8 = Jumlah frasa yang diawali kata sifat

Rumus lain yang lebih ringkas dan lebih kongkrit pemakaiannya dikemukakan oleh Flesch (1948, ibid. 74) sebagai berikut.

R.E. = 206.8 – 0.8 wl – 1.0 sl

Di mana: R.E. = Skor kemudahan membaca.
  wl = Jumlah suku kata per 100 kata.
  sl = Jumlah kata rata-rata per kalimat.

Skor yang diperoleh dengan rumus Flesch ditafsirkan dengan kategori-kategori skor sebagai berikut.
Tabel 1. Skor Kemudahan Membaca serta Tingkat Kesukaran Bacaan
dan Perkiraan Kelas Pembaca.

Skor kemudahan membaca Tingkat Kesukaran Perkiraan Kelas Pembaca
90 – 100
80 – 89
70 – 79
60 – 69
50 – 59
30 – 49
0 – 29 Sangat mudah
Mudah
Cukup mudah
Standar
Cukup sulit
Sulit
Sangat sulit Kelas 5
Kelas 6
Kelas 7
Kelas 8 dan 9
Kelas 10, 11 dan 12
Mahasiswa
Sarjana

Flesch juga mengemukakan rumus skor H.I. (human interest, ketertarikan manusiawi) sebagai berikut.

H.I. = 3.6 pw + 0.3 ps

Di mana: H.I. = Skor ketertarikan manusiawi.
 pw = Jumlah kata personal per 100 kata.
 ps = Jumlah kalimat personal per 100 kata.

Skor yang diperoleh dengan rumus tersebut ditafsirkan dengan kategori-kategori skor sebagai berikut.

Tabel 2. Tabel Skor Ketertarikan Manusiawi dan Deskripsi Gaya

Skor ketertarikan manusiawi Deskripsi Gaya
0 - 9
10 - 19
20 - 39
40 - 59
60 -100 Membosankan
Cukup menarik
Menarik
Sangat menarik
Dramatis


Dari studi Gray-Leary (1935), kita tahu banyak tentang unsur-unsur yang menentukan keterbacaan dan dari rumus akhirnya kita memahami bahwa hanya jumlah kata ganti orang pertama, kedua dan ketiga yang berkorelasi positif dengan skor keterbacaan, sementara unsur-unsur lainnya berkorelasi negatif. Temuan dimaksud diperkaya oleh temuan Flesch (1948) yang mengukur keterbacaan dari jumlah suku kata per 100 kata dan jumlah kata rata-rata per kalimat. Lebih dari itu, ’kepentingan’ dan ’keberadaan’ pembaca dan relasinya ’pelaku’ dalam bacaan dinyatakan Leary-Gray dengan penggunaan kata ganti orang pertama, kedua dan ketiga dan dinyatakan Flesch dengan kata dan kalimat personal per 100 kata. Kata personal mempunyai bobot sangat kuat dibanding dengan bobot kalimat personal.


B. Kritisisme sebagai Suatu Teknik Kajian Kritis Teoritis: Mengenal Pemikiran Habermasian

Kritisime adalah suatu kajian kritis teoritis. Hawkes (1977) menyatakan kritisisme lama yang berkembang di Inggris dan Amerika di akhir abad 19 dan awal abad 20 menuntut kritisisme bacaan mengacu pada biografi dan psikologi penulisnya atau mengacu pada hubungan bacaan dengan ’sejarah sastra’/bacaan. Sementara itu, kritisisme baru menuntut bacaan dianggap sebagai otonom dan tidak perlu ditimbang dengan mengacu pada kriteria di luar bacaan.
Kritisisme lama adalah cara Nietzsche-Foucaultian to read, write, teach slowly, comprehensively and radically, dibaca seperti ayam dengan seksama mengerami telur-telurnya dengan live author Leninian who who (tulisan siapa pada siapa), tulisan harus dibela, dijelaskan oleh (keberadaan) penulisnya (dan audiensnya). Kritisisme baru adalah cara membaca Caesarian vini, vidi, vici; focus, skim, talk atau dengan cara Nietzschean quick in quick out like you do cold shower layaknya bacaan itu Barthesian zero degree writing atau suatu titik Archimedian dengan dead author Foucaultian what what (bacaan apa buat apa, tidak begitu peduli pada siapa menulis/berbicara tentang atau pada siapa), bacaan berbicara dengan sendirinya, tidak perlu penulisnya hadir membela diri, menjelaskan.
Kritisisme lama terlihat dari studi Gray-Leary (1935) dan Flesch (1948) yang diurai di sub bab tentang keterbacaan. Keduanya menekankan aspek who who. Sementara itu, belum ditemukan studi yang menekankan aspek what what. Namun, tentang fenomena yang berkaitan dengan kritisisme baru niscaya dapat kita amati betapa literasi yang berkaitan dengan penggunaan alat komunikasi modern seperti handphone, misalnya (sehingga kita sebut saja literasi handphone), menuntut orang untuk membaca secara praktis manual dan berbagai perintah dalam menu serta mendengar dan membaca pesan komunikasi. Aspek who who dalam literasi handphone memang masih lekat misalnya dalam tata sopan santun ber-sms, tapi aspek what what-nya lebih terasa kental terutama dari sisi emansipasi dan partisipasi Cartesian ’Saya berhandphone-ria, maka saya ada’.
Akhirnya, pemikiran tentang pragmatik Jurgen Habermas atau lebih luas lagi pemikiran Habermasian secara komprehensif, ringkas dan padat merangkum dua ’aliran’ kritisisme tersebut. Pemikiran Habermasian menuntut suatu bacaan atau wacana harus a) secara subjektif nurani sejati penulisnya tercermin, b) secara objektif terdapat data dan fakta yang menjadi acuannya, c) secara normatif sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku dan d) secara kebahasaan dinyatakan dengan bahasa baik, benar dan dipahami oleh komunitas yang menjadi sasaran bacaan atau wacana. Pendeknya, pemikiran Habermasian menuntut harmoni dunia subjektif, dunia objektif, dunia normatif dan dunia kebahasaan. Jika keempat prasyarat bacaan tersebut dipenuhi, maka dikatakan kita berada dalam suatu Ideal Speech Situation (ISS atau SPI Situasi Penuturan Ideal). Kritisisme who who diwujudkan dalam dunia subjektif, sementara kritisisme what what diwujudkan dalam dunia objektif. Dengan demikian, pemikiran Habermasian bukan hanya merangkum kritisisme lama dan kritisisme baru, tapi juga melengkapinya dengan acuan pada dunia normatif dan dunia kebahasaan. Lebih kongkrit lagi, sejumlah tuntutan atau imperatif SPI dapat dinyatakan dengan tabel berikut. Di dalam tabel dunia bahasa, dunia objektif, dunia subjektif dan dunia normatif dinyatakan masing-masing oleh kriterium yang menjadi landasan pokoknya. Keempat kriterium tersebut adalah masing-masing komprehensibilitas (kesepahaman), kebenaran, kejujuran dan legitimasi.

Tabel 3. Imperatif Tindak Komunikatif SPI (Situasi Penuturan Ideal)

 Teori Praktek
 Komprehensi-bilitas Kebenaran Kejujuran Legitimasi
T
e
o
r
i
 Bahasa atau
Wacana Mengungkapkan makna, menghin-dari ganda makna dan kebingungan Mencek bukti, menghindari informasi menyesatkan Mencek niat, menghindari penipuan Meyakinkan peran dan konteks
 Hub./
Bentuk Organi-sasi Mencairkan mitos, keterampilan melayani Melembaga-kan dialog, eksplorasi kemungkinan Menjelaskan kepentingan yang tidak terlihat, menghindari salah mewakili Perencanaan partisipatoris, menghindari birokratisme
P
r
a
k
t
e
k Akti-vitas
atau Praktek Jargon benar, di depan atau di belakang peserta didik Mengundang pihak ketiga, menyembunyikan informasi Mengajukan bukti, mencek kontak dan jaringan, menghindari motif jahat Keputusan partisipatoris, menghindari dominasi dan ketidak-responsifan


Seperti juga terlihat pada tabel, pemikiran Habermasian lebih lanjut, paduan dunia subjektif dan dunia objektif berhadapan dan saling berinteraksi dengan dunia normatif (dengan dunia kebahasaan sebagai latar yang harus hadir di dunia objektif, subjektif dan normatif tersebut). Interaksi keduanya juga disebut interaksi lifeworld dan system(world) atau dalam penjabaran pemikiran Habermasian menjadi dasar filosofis PTK (action research) yang dikembangkan Deakin University, Australia, interaksi keduanya disebut interaksi teori dan praktek.
Sebagai catatan lebih lanjut tentang pemikiran Habermasian, kita catat bahwa jika semantik mengurai deskripsi kata-kata, maka pragmatik mengurai karakterisasi makna penutur. Contoh pragmatik adalah ketika di suatu toko jam tangan, calon pembeli mengatakan: ”Boleh melihat jam yang ini (sambil menunjuk ke suatu jam tertentu)?”, maka calon pembeli tersebut bukan hanya sekedar ingin ’melihat’ (karena dengan menunjuk suatu jam tertentu dia tentu sudah ’melihat’), tapi juga ingin memegang, mengamati lebih detil lagi dan/atau ingin mencoba memakai jam tangan sebelum akhirnya calon pembeli dimaksud memutuskan untuk jadi atau tidak jadi membelinya. Selanjutnya, sebuah contoh kajian kritis disajikan dengan mengurai secara kritis bacaan berikut.



Esensialisme Budaya dan Pragmatisme Politik

Untuk waktu yang sangat lama, teori sosial dan kalangan politik dikuasai oleh gagasan esensialis tentang kebudayaan. Secara sederhana, dalam gagasan esensialis diandaikan dan dipercaya begitu saja bahwa kebudayaan terdiri dari nilai dan norma yang telah selesai, sempurna, baku, berdiri sendiri dan tidak tersentuh lagi oleh perilaku budaya dalam kehidupan nyata. Tegasnya, dalam gagasan esensialis, peranan para pendukung kebudayaan dalam memberi bentuk dan isi kebudayaan diabaikan. Manusia dibentuk oleh budayanya, bukan manusia yang membentuk budayanya. Seseorang menjadi Sunda karena budayanya, demikian pula seorang menjadi Minang karena budayanya. Seorang Jawa yang hidup di budaya Jepang akan menjadi Jepang secara budaya.
Asumsi yang dianut gagasan esensialis adalah bahwa perilaku sekelompok orang bergantung pada nilai dan norma yang dianutnya. Jadi, untuk mengubah perilaku budaya, perlu terlebih dulu diubah seluruh perangkat nilai dan norma kebudayaan yang menjadi pedomannya. Ada semacam kepercayaan yang bersifat Platonis bahwa nilai dan norma budaya berada pada sebuah “dunia ide-ide” yang otonom, sedangkan perilaku budaya hanya merupakan pantulan dan tiruan yang kurang sempurna dari dunia ide tersebut. Kalau ada yang menyimpang dalam kebudayaan, maka yang harus diubah adakah perilaku budaya, bukan nilai dan norma budaya. Secara populer, pemikiran tersebut diabadikan dengan slogan: Jangan salahkan budaya, tapi salahkanlah perilakunya!
Mengapa gagasan esensialis tentang kebudayaan demikian dominan? Secara ilmiah, gagasan esensialis dipengaruhi gagasan positivisme yang memandang budaya sebagai barang jadi yang dapat diteliti secara empiris gejala dan polanya. Positivisme menangkap kehadiran budaya dengan pola-pola yang sudah terbentuk dan tidak berupaya untuk menangkap proses pembentukan (konstruksi) budaya. Dalam proses pembentukan budaya akan terlihat kekuasaan dan kepentingan berbagai gagasan yang membentuk budaya dalam suatu konteks sejarah yang kongkrit. Setiap budaya ada riwayat hidupnya dan konstruksi sosial adalah semacam biografi tentang budaya dimaksud.
Jadi, jika dominannya gagasan esensialis dilihat dari konteks sejarah yang diwarnai banyak kekuasaan dan kepentingan, kita akan melihat bahwa gagasan esensialis adalah argumen pragmatis untuk menghindari tanggungjawab budaya dengan cara memisahkan nilai budaya dan perilaku budaya. Ketika mempropagandakan pribumi sebagai pemalas, penjajah dulu pada dasarnya menimpakan kemiskinan dan kemelaratan pada pribumi yang malas, sementara seluruh usaha mereka menjarah dan mengeruk kekayaan Indonesia ke luar negeri tidak disinggung. Di jaman sekarang, peran kolonial diganti oleh koruptor yang bernalar dan menjustifikasi perbuatan dengan alasan maraknya budaya korupsi, selain juga maraknya budaya nepotisme dan budaya kekerasan: kekerasan fisik dalam rumah tangga (KDRT), dalam berbagai demo ’pesanan’ atau dalam berbagai pembagian bantuan, tunai atau sembako serta kekerasan mental ketika di tengah rakyat kelaparan, pejabat tinggi justru minta naik gaji dan/atau korupsi (Diadaptasi dari: Kleden, 2001:17-22).




Kajian kritis terhadap bacaan tersebut adalah sebagai berikut. Namun, sebelumnya harus kita ingat bahwa keseluruhan isi modul yang sedang pembaca baca ini pada dasarnya adalah contoh kajian kritis terhadap berbagai sumber pustaka yang tersaji di bagian yang dinamakan Daftar Pustaka. Kajian kritis tersebut ’dipayungi’ oleh tujuan menyajikan apa dan bagaimana (tupoksi atau ’tugas pokok dan fungsi’) kajian kritis. Kajian kritis terhadap contoh-contoh bacaan pendek adalah untuk lebih mengkongkritkan lagi mengenai tupoksi kajian kritis. Sebagai misal, kata ’diadaptasi’ di akhir catatan bacaan tentang Esensialisme Budaya dan Pragmatisme Politik, menunjukkan bahwa sumber bacaan di buku Kleden (2001: 17-22) telah dikaji dengan kritis dan disajikan dengan lain mengingat khalayak dan tujuan penulisan bacaan berbeda.


Kajian Kritis terhadap Bacaan Esensialisme Budaya dan Pragmatisme Politik

Pertama-tama harus dicatat bahwa pada tataran teori, penyamaan gagasan esensialis dengan gagasan Platonis adalah tepat hanya dalam arti tertentu. Namun, jika mengingat pandangan Whitehead yang mengatakan semua filosofi adalah catatan kaki saja pada filosofi Plato, Plato tentulah di atas dan mengatasi semua aliran filosofi. Karena meliput semua aliran, maka selalu aktual dan dalam arti demikian dapat dikatakan esensialis. Plato lebih tepat disebut idealis. Tepatnya istilah idealis buat Plato semata-mata karena suatu pandangannya tentang sulitnya menjelaskan bagaimana orang bisa tahu sesuatu. Orang tahu karena pernah diberi tahu di alam ideal (di saat orang bersangkutan bahkan tidak menyadarinya).
Dari kurang tepatnya memahami makna esensialisme, maka jelas saja menuntun ke kesimpulan salah ’esensialisme dipengaruhi positivisme’. Jika pun dapat diposisikan, esensialisme berada pada posisi bersebrangan dengan postivisme: bagaimana yang satu dapat mempengaruhi yang lain? Secara garis besar, esensialisme berpandangan bahwa ada nilai-nilai yang selalu aktual dari jaman ke jaman. Suatu ’slogan’nya adalah hal yang baik itu selalu aktual, hal yang aktual belum tentu baik. Sementara itu, positivisme berpandangan bahwa hanya hal yang terbukti dan terlihat secara empiris saja yang bermakna atau benar.
Akhirnya, pada tataran praktek atau tepatnya penarapan teori pada praktek, maka dalam bacaan tersebut, satu-satunya dapat diterima adalah bahwa positivisme ’menangkap kehadiran budaya dengan pola-pola yang sudah terbentuk dan tidak berupaya untuk menangkap proses pembentukan (konstruksi) budaya’. Kemudian, kesimpulan ’gagasan esensialis adalah argumen pragmatis untuk menghindari tanggungjawab budaya dengan cara memisahkan nilai budaya dan perilaku budaya’ semestinya diubah menjadi ’gagasan positivis adalah argumen pragmatis untuk menghindari tanggungjawab budaya dengan cara memisahkan nilai budaya dan perilaku budaya’. Oleh karena itu, secara keseluruhan, penulis salah memahami gagasan esensialis. Sederhananya, jika kata ’esensialis’ diganti dengan ’positivis’ maka ’kebenaran’ bacaan dapat diterima.



C. Lebih Lanjut Mengenal Pemikiran Habermasian

Dalam konteks Indonesia, kehadiran pemikiran Habermasian dimaksudkan untuk memberi klarifikasi pada asosiasi barbar ’kajian kritis = teori kritis = Marx = G30S/PKI’ selain juga untuk mengimbangi kesan ’aliran kiri’ dari nama-nama yang disebut di Bab A seperti Michel Foucault, Antonio Gramsci, dan Louis Althusser. Sekali pun Habermas dan Marx berasal dari dari kelompok yang dinamakan Frankfurt School, Habermas mengadaptasi pemikiran Marx dan pemikiran sejumlah besar pemikir lainnya sedemikian rupa, sehingga menamakan Habermas sebagai Marxis sama seperti menamakan kucing itu sejenis kuda karena sama-sama berkaki empat. Sebagai sebuah bukti yang tidak akan diurai lebih mendalam adalah tabel berikut yang memberi tempat bagi Habermas dan Marx selain juga memberi tempat bagi Weber dan Parson yang umumnya dikenal sebagai beraliran ’kanan’.

Tabel 4. Paduan Gagasan Parson, Habermas, Marx dan Weber
 
Parson Marx Habermas Weber Habermas
Individu Penghasilan-U Barang dan Jasa-U Jabatan.-K Keputusan Pol.-K
Politik Pajak-U Loyalitas-K
Ekonomi Tenaga Kerja-K Permintaan-U
Identitas Pekerja Konsumen Klien Warga Negara
Sistem Sosial Organik Personal Ekonomi Iptek
 Privat Publik
Sistem Kultural
Sistem Nilai
*Ket.: K, U = kekuasaan, uang: media pertukaran.


Sekali pun seperti telah dikatakan tidak akan diurai lebih lanjut, sebagai bahan untuk lebih mengkritisi tabel 4, berikut disajikan suatu kutipan bagi pembaca untuk memahami bagaimana aplikasi pemikiran Weber, Hegel dan Marx dalam dunia birokrasi. Pembaca dipersilahkan untuk membuat kajian kritis atas bacaan tersebut.



Birokrasi Weberian, Hegelian dan Marxis


Weber menekankan pada rasionalitas dan efisiensi birokrasi. Penekanan tersebut dapat ditelusuri dari kondisi sosial budaya yang melatarbelakangi kehidupan Max Weber pada saat itu. Rasionalitas dan efisiensi dicerminkan dengan susunan hierarki merupakankebutuhan mendesak. Menurut Bentham (1975), Weber memperhitungkan 3 unsur pokok dalam konsep birokrasinya. Ketiga unsur tersebut adalah pertama, birokrasi dipandang sebagai instrumen teknis. Kedua, birokrasi dipandang sebagai kekuatan mandiri dalam masyarakat sepanjang birokrasi berperan sebagai instrumen teknis tersebut. Ketiga, birokrasi dipandang sebagai perwujudan kepentingan kelompok sosial tertentu karena para birokrat kenyataannya cenderung tidak dapat menjadi semata instrumen teknis.
Ciri birokrasi Weberian adalah kekuasaan ada pada setiap hierarki jabatan pejabat. Semakin tinggi hierarki jabatan, semakin tinggi pula kekuasaannya. Pada hierarki paling bawah atau juga disebut di luar hierarki adalah masyarakat atau rakyat. Pada posisi tersebut masyarakat sama sekali tidak mempunyai kekuasaan apa pun. Disiplin birokrasi model Weber menyatakan bahwa hierarki bawah tidak berani atau bahkan tidak boleh melawan kekuasaan hierarki atas.
Di Indonesia hierarki kekuasaan dibalut dengan sistem bapak atau patrimonial sehingga menjadi lebih kental praktik kekuasaan birokrasinya. Atau dengan kata lain, birokrasi Weberian di Indonesia sedikit banyak telah disesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat. Pejabat hierarki bawah tidak berani bertindak jika tidak memperoleh restu dan petunjuk dari hierarki atas. Sikap semacam itu menumbuhkan penyakralan jabatan-jabatan dalam birokrasi yang disertai dengan tuntutan memperoleh hak istimewa yang melenceng dari sikap rasional model Weber: meminta pengawalan atau fasilitas VIP, membawakan naskah pidato, dibukakan pintu mobil, dibawakan tas kerja, dst.
Karl Marx mengurai birokrasi dengan cara menganalisis dan mengkritisi filosofi Hegel tentang negara. Hegel berpendapat bahwa birokrasi berada di tengah (netral) antara pemerintah dan masyarakat. Birokrasi adalah jembatan yang menghubungkan pemerintah dengan masyarakatnya. Pemerintah mewakili kepentingan umum, sementara masyarakat mewakili berbagai kepentingan partikular: profesional, usahawan, dst. Marx tidak setuju dengan pandangan Hegel yang menyatakan birokrasi berada di tengah antara pemerintah dan masyarakat. Marx menunjukkan keberadaan birokrasi yang memihak pada kekuatan politik yang memerintah. Berbagai kelompok kepentingan di masyarakat bersaing satu dengan lainnya dan pemenangnya memegang kekuasaan birokrasi yang otonom dan opresif. Di satu sisi, birokrasi berbuat baik mengatur kehidupan masyarakat, namun di sisi lain, kekuasaan tersebut berada di luar jangkauan masyarakat untuk mengontrolnya. Di dalam birokrasi itu sendiri terdapat persaingan satu dengan lainnya dalam rangka mengonsolodasi status, karir, posisi dan hak-hak istimewanya masing-masing. Oleh karena itu, hancurnya birokrasi harus dipahami sebagai proses penyerapan bertahap birokrasi ke dalam masyarakat secara keseluruhan. Birokrasi harus dilakukan semua anggota masyarakat dan tugas-tugas administratif kehilangan sifat ekploitatif dan opresifnya. Administrasi akan menjadi administrasi tentang barang, bukan tentang orang seperti yang selama ini terjadi. (Adaptasi dari Thoha, 2005, hal. 7-8, 19- 26).



Akhirnya, pada level satuan pendidikan, aliran pandangan ’kiri-kanan’ atau yang dikenal umum dengan lebih ramah ’aliran konflik-konsensus’ sebenarnya ditandai dengan kontras politik-mikro dan sains organisisasi. Dengan masing-masing politik-mikro dan sains organisasi mempunyai karakteristik tersendiri maka kontras keduanya dapat disajikan dengan tabel berikut. Dari tabel terlihat bahwa ’konflik-konsensus’ merupakan salah satu kontras dimaksud. Dengan tabel berikut pula dapat dikatakan bahwa pemikiran Habermasian tidak hanya peduli pada ’teori’ saja tapi juga meliput ’praktek’ seperti diurai di Bab B. Atau, setidaknya filosofi Habermas termasuk ke dalam philosophy with practical intens (filosofi yang bertujuan untuk mencari hal-hal praktis). Habermas tidak hanya peduli pada ’wacana’ tapi juga memberi peta bagaimana ’potret praktek’ dalam bentuk lembaga/organisasi. Hanya saja ketika memandang organisasi sekurang-kurangnya ada perspektif yang mungkin: perspektif politik-mikro dan perspektif organisasi.

Tabel 5. Perspektif Politik-Mikro dan Sains Organisasi dalam Pendidikan

Perpektif Politik-Mikro Sains Organisasi
Kekuasaan
Keragaman Tujuan
Pertentangan Ideologis
Konflik
Kepentingan
Aktivitas Politik
Kontrol Otoritas
Koherensi Tujuan
Netralitas Ideologi
Konsensus
Motivasi
Pengambilan Keputusan
Kesepahaman (Consent)
Sumber: Ball (1987:8)


D. Kajian Kritis Teoritis Lainnya dan Pemikiran Habermasian

Paradigma kritisisme dapat diperbandingkan dengan dua paradigma lain dalam meninjau suatu wacana, yaitu paradigma positivisme dan paradigma interpretivisme. Rosidi (2007) mengemukakan bahwa baik paradigma positivisme maupun paradigma interpretivisme tidak peka terhadap proses produksi dan reproduksi makna. Kedua paradigma tersebut mengabaikan kehadiran unsur kekuasaan dan kepentingan dalam setiap praktik berwacana. Karena itu, alih-alih mengkaji ketepatan tatabahasa menurut tradisi positivisme atau proses penafsiran sebagaimana tradisi interpretivisme, paradigma kritisisme justru memberi bobot lebih besar terhadap pengaruh kehadiran kepentingan dan jejaring kekuasaan dalam proses produksi dan reproduksi makna suatu wacana. Baik sebagai subjek maupun objek praktik wacana, individu tidak terbebas dari kepentingan ideologik dan jejaring kekuasaan.
Selain itu, sebagai semacam penyegar, strukturalisme Teun van Dijk memperlakukan wacana sebagai entitas berstruktur. Karena itu, pendekatan yang ditawarkan pun bertolak dari pencermatan atas tiga tingkatan struktur wacana, yaitu: struktur makro, struktur supra, dan struktur mikro (macrostructure, superstructure, and micro structure). Struktur makro menunjuk pada makna keseluruhan (global meaning) yang dapat dicermati dari tema atau topik yang diangkat oleh suatu wacana. Struktur supra menunjuk pada kerangka suatu wacana atau skematika, seperti kelaziman percakapan atau tulisan yang dimulai dari pendahuluan, dilanjutkan dengan isi pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan diakhiri dengan penutup. Bagian mana yang didahulukan, serta bagian mana yang dikemudiankan, akan diatur demi kepentingan pembuat wacana. Struktur mikro menunjuk pada makna yang disampaikan dalam tiap paragraf, kalimat atau frasa yang disampaikan.
Jadi, kritisisme, positivisme, intrepretivisme dan strukturalisme merupakan kajian kritis yang mengarah ke kajian kritis teoretis. Kajian-kajian tersebut berfokus kepada bagaimana mengurai suatu wacana dalam hubungannya dengan wacana itu sendiri dan dalam kaitannya dengan lingkungan penciptaan wacana. Hanya, saja dalam kritisisme dari perspektif Habermasian dengan philosophy with practical intent-nya dapat juga menuntun ke kajian kritis praktis. Seperti diurai di Bab B, pemikiran ISS Habermasian menuntut suatu bacaan atau wacana harus a) secara subjektif nurani sejati penulisnya tercermin, b) secara objektif terdapat data dan fakta yang menjadi acuannya, c) secara normatif sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku dan d) secara kebahasaan dinyatakan dengan bahasa baik, benar dan dipahami oleh komunitas yang menjadi sasaran bacaan atau wacana. Sebagai contoh, pembaca dapat memperhatikan kembali ’box’ Kajian Kritis terhadap Bacaan Esensialisme Budaya dan Pragmatisme Politik. Tugas pembaca untuk melihat jika kajian kritis tersebut sudah memenuhi keempat kriteria ISS!


BAB III. KAJIAN KRITIS PRAKTIS


A. Kajian Kritis Praktis

Pengertian kajian kritis yang bersifat terapan dijumpai dalam glosarium BBM bermutu. Dalam glosarium BBM Generik dikemukakan bahwa kajian kritis merupakan suatu kegiatan membaca, menelaah, menganalisis suatu bacaan/artikel untuk memperoleh ide-ide, penjelasan, data-data pendukung yang mendukung pokok pikiran utama, serta memberikan komentar terhadap isi bacaan secara keseluruhan dari sudut pandang kepentingan pengkaji. Kegiatan utama yang dilakukan dalam kajian kritis adalah pemahaman makna yang tertuang dalam suatu bacaan.
Kata kunci yang dijumpai dalam pengertian kajian kritis terapan adalah membaca, menelaah, menganalisis, ide-ide, data pendukung, memberi komentar, dan sudut pandang kepentingan pengkaji. Ada poin utama dari kata kunci ini, yaitu aktivitas kajian, objek kajian, dan kepentingan pengkaji. Aktivitas kajian merupakan prosedur yang dilakukan dalam melakukan pengkajian, objek kajian merupakan isi bacaan atau wacana yang hendak dikaji, dan kepentingan pengkaji merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh subjek pengkaji. Ketiga hal ini berpilin menjadi satu membangun suatu aktivitas yang disebut dengan kajian kritis.


B. Prinsip Kajian Kritis

Dalam melakukan kajian kritis terhadap sebuah bacaan, baik ilmiah maupun semi-ilmiah, terdapat prinsip kajian kritis berikut.

1. Kajian Ilmiah

Sebuah bacaan ilmiah ditulis berdasarkan data, fakta dan opini yang diperoleh dari penyelidikan atau penelitian. Penelitian tersebut dapat berupa penelitian pustaka, laboratorium dan penelitian lapangan. Mengacu pada pengertian bacaan ilmiah tersebut, kajian kritis dapat diartikan sebagai upaya untuk memastikan dan mengambil manfaat dari bacaan yang 1) menyajikan data, fakta dan opini secara objektif dan logis, 2) pernyataan dalam kalimat tulus, benar, sesuai aturan dan norma yang berlaku serta sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku, dan 3) tidak memuat pandangan-pandangan tanpa dukungan fakta, tidak emosional atau menonjolkan emosi.


2. Sikap Ilmiah

Atas dasar ciri-ciri bacaan ilmiah tersebut, ada beberapa sikap kritis dalam bentuk sikap ilmiah yang diantaranya meliput 1) sikap ingin tahu, kritis, terbuka, objektif, 2) menghargai karya orang lain, 3) berani mempertahankan kebenaran, dan 4) mempunyai pandangan luas dan jauh ke depan.


3. Sistematis dan Holistis


Sistematis menuntut kajian dilakukan secara berurutan dan terpadu sehingga satu aspek dengan aspek lainnya membentuk suatu keseluruhan yang tertata rapi. Sementara itu, holistis berititik tolak dari pandangan menyeluruh utuh atau ’makna global’ dengan aspek-aspek selalu dilihat sebagai suatu keseluruhan. Sistematis juga merupakan suatu karakteristik khas pendekatan ilmiah klasik di mana analisis menempati posisi sentral sehingga suatu bacaan atau masalah diurai dan dipecah-pecah agar sepenuhnya dikuasai. Suatu istilah pentingnya dalam pendidikan adalah kata ’disiplin’. Sementara itu, holistik merupakan karakteristik khas pendekatan kontemporer yang diantaranya mempunyai ’slogan’ chaos itu bukan tanpa informasi, tapi saking kayanya informasi sehingga kelihatan seperti chaos atau chaos yang dibicarakan sebenarnya adalah ordered chaos (chaos yang teratur) dan pada tataran praktis, slogan belajar itu seperti air mengalir.


C. Aspek-Aspek Dalam Kajian Kritis

Dalam suatu kajian kritis terdapat 5 aspek yang harus diperhatikan. Kelima aspek tersebut adalah aspek bahasa, aspek membaca, aspek konteks, aspek keutuhan bacaan dan aspek pembaca. Uraian dari kelima aspek tersebut adalah sebagai berikut.


1. Aspek Bahasa

Dalam menggali suatu wacana terdapat sejumlah aspek bahasa yang perlu diperhatikan, yaitu aspek semantik, sintaksis, stilistika, dan retorika. Aspek semantik suatu wacana mencakup latar, rincian, maksud, pengandaian, dan nominalisasi. Aspek sintaksis suatu wacana berkenaan dengan bagaimana frase dan/atau kalimat disusun. Aspek tersebut mencakup bentuk kalimat, koherensi, dan pemilihan sejumlah kata ganti orang. Aspek stilistika suatu wacana berkenaan dengan pilihan kata dan lagak gaya yang digunakan oleh pelaku wacana. Dalam pemilihan kata ganti yang digunakan dalam suatu kalimat, aspek stiliska berkaitan erat dengan aspek sintaksis. Aspek retorik suatu wacana menunjuk pada siasat dan cara yang digunakan oleh pelaku wacana untuk memberikan penekanan pada unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Retorika mencakup penampilan grafis, bentuk tulisan, metafora, serta ekspresi yang digunakan.


2. Aspek Membaca

Membaca merupakan upaya yang dilakukan dalam menelusuri ide yang dibentangkan oleh penulis dalam suatu bacaan. Pembaca berusaha menemukan rentetan ide yang ada dalam membangun suatu gagasan yang lebih besar. Pengorganisasian gagasan yang dilakukan oleh penulis perlu ditangkap secara cermat oleh pembaca. Keberhasilan pembaca menangkap ide penulis ditentukan oleh kualitas pembacaan yang dilakukannya. Ada dua hal penting yang mempengaruhi pembaca dalam menyerap ide/gagasan penulis. Pertama, skemata pembaca mengenai topik yang sedang dibacanya. Ketika membaca suatu bacaan, memori yang tersimpan dalam image atau ’citra’ pembaca bekerja secara tak sadar dan pembaca sadar atau tidak akan melakukan perbandingan-perbandingan antara apa yang sudah pernah diketahuinya dengan informasi yang sedang dibacanya. Informasi lama yang ada dalam memori pembaca mengikat informasi baru yang sedang diupayakan dipahaminya. Mekanisme tersebut seperti bola salju yang bergelinding sehingga bola makin lama makin besar. Memori makin lama makin sulit atau bahkan tidak dapat bertambah dengan makin bertambahnya usia yang membuat menurunnya fungsi organ-organ manusia.
Hal lain yang mempengaruhi pembaca dalam menyerap ide/gagasan penulis adalah strategi penyajian yang digunakan penulis. Strategi dipengaruhi oleh tipe wacana. Untuk wacana teknis akan digunakan strategi yang cenderung tertutup, artinya penyajian tulisan itu mengikuti suatu kaidah tertentu yang secara konvensional dimiliki oleh komunitas atau bidang ilmu serumpun/selingkung. Dalam banyak hal kaidah tersebut sulit dipahami oleh mereka yang berada di luar komunitas dimaksud. Berbeda dengan wacana teknis, wacana populer menggunakan strategi yang cenderung terbuka. Artinya, kaidah yang dipakai dalam penataan gagasan dalam tulisan itu mengikuti prinsip-prinsip secara umum, sehingga siapapun yang membacanya akan dengan mudah memahami isinya. Wacana populer tidak membuat sekat pembaca baik berdasarkan sekat komunitas maupun sekat usia.
Pembaca yang baik perlu secara dini menentukan wacana yang dibacanya merupakan wacana teknis ataukah wacana umum. Jika merupakan wacana teknis, maka perhatian khusus dibutuhkan untuk mengidentifikasi gagasan pokok yang terdapat dalam tulisan tersebut. Hal sebaliknya untuk wacana populer. Pembaca melakukan penelaahan bacaan secara mendalam tentang isi yang tertuang dalam suatu bacaan.


3. Aspek Konteks

Dalam penelaahan bacaan, konteks memiliki peran yang sangat besar. Krippendorf (1993:20) mengemukakan bahwa konteks adalah lingkungan data. Biasanya analis dapat menentukan lingkungan data dan konseptualisasinya. Seorang ahli bahasa dapat membatasi fokus perhatiannya kepada lingkungan bahasa berbagai kata dan ungkapan. Seorang sosiolog mungkin mengakui makna sebuah tindakan dengan menempatkannya dalam konteks situasi sosial di saat tindakan tersebut terjadi. Seorang peneliti komunikasi menginterpretasikan makna sebuah pesan dalam hubungannya dengan niat pengirimnya, pengaruh kognitif dan behavioral penerimanya, institusi-institusi yang dipakai untuk menyampaikannya, atau peran yang dimainkan pesan tersebut.



4. Aspek Keutuhan Bacaan

Untuk keperluan kajian kritis yang bersifat praktis, sejumlah aspek keutuhan bacaan yang perlu dikaji secara cermat dari sebuah bacaan meliputi:
a. Penulis (kualifikasi dan rekam jejak reputasi atau kepakarannya)
b. Rujukan-rujukan yang digunakan: yang meliputi kemutakhiran dan jumlah rujukan yang diacu, baik yang mendukung atau pun yang bertentangan.
c. Relevasi rujukan-rujukan yang diacu oleh penulis artikel untuk mendukung gagasan atau temuan.
d. Ketepatan cara merujuk (berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku).
e. Akurasi (ketelitian) data: meliputi validitas dan reliabilitas instrumen yang digunakan, keterwakilan populasi oleh sampel jika data diperoleh melalui sampling, dan kemutakhiran data jika data diambil dari sumber data tertentu (misal dari Badan Pusat Statistik).
f. Kedalaman analisis dan pembahasan yang dibuat oleh penulis terhadap data-data yang disajikan.
g. Kejelasan dan kemudahan uraian deskripsi yang disajikan
h. Kelengkapan informasi yang disajikan oleh penulis.


5. Aspek Pembaca
 
Aspek pembaca terutama terkait dengan niat pembaca dan kesesuaian isi bacaan dengan kebutuhan pembaca. Untuk mencari, mengumpulkan dan membaca bacaan, pembaca tentunya sudah tahu sebelumnya apa tujuan dari semua aktivitas tersebut. Tujuannya mungkin adalah untuk mencari rumusan masalah, mencari masukan atas rumusan masalah yang sudah dirancangnya, mencari pandangan atau teori untuk membantunya menyelesaikan masalah atau untuk memperkaya informasi, bahan atau teori yang telah diperolehnya. Dengan mengacu pada tujuan tersebut pembaca baik tahu mana bacaan yang harus dikaji secara mendalam dan mendasar dengan berlama-lama membacanya atau dengan cepat seperti dikontraskan dalam kajian kritis teoritis.



D. Penelusuran Sumber Informasi

Dalam menuliskan gagasan dalam karya ilmiah penulis membutuhkan sejumlah pandangan, pendapat dan informasi dari berbagai sumber untuk mendukungnya. Idealnya, untuk menyampaikan materi secara lisan atau tertulis dengan cara yang meyakinkan, persiapan yang harus dilakukan adalah seperti yang diklaim Nietzsche atau imam Ghazali: kata-kata yang menyelami doktrin semua kaum, menyelami kedalaman dan mendaki ketinggian yang tidak pernah dicapai orang. Di internet, perpustakaan atau di toko buku tentu tersedia berbagai sumber. Hanya saja kemudahan dan kemurahan akses mempengaruhi seberapa banyak informasi kita peroleh dan sering tidak semua sumber dibutuhkan. Di sinilah kita membutuhkan kiat khusus untuk memilah-milah informasi.
Dalam menelusuri sumber informasi tentu dijumpai masalah, yaitu informasi manakah yang sesuai dengan tulisan yang akan ditulis dan informasi mana yang tidak kita butuhkan. Di sinilah kita membutuhkan teknik khusus dalam kajian penemuan informasi tersebut. Sejumlah teknik khusus yang dapat dijadikan pijakan dalam kajian kritis penelusuran informasi, antara lain; (1) pengalaman, (2) pengamatan, (3) imajinasi, (4) pendapat dan keyakinan. Selain itu, bisa juga faktor lain yang turut menjadi pertimbangan adalah (1) manusia, (2) organisasi, (3) literatur, (4) jasa informasi. Berikut ini diuraikan sumber-sumber informasi yang dapat dipakai sebagai informasi kajian kritis.

1. Pengalaman.

Dalam kehidupannya, setiap orang pastilah mempunyai pengalaman yang (sangat) mengesankan. Pengalaman tersebut dapat menjadi titik tolak untuk mulai menulis dan bahkan untuk mengembangkan minat selanjutnya pada topik-topik yang esensinya berkenaan dengan pengalaman dimaksud.

2. Pengamatan.

Banyak hal dalam kehidupan sehari-hari yang tidak kita alami langsung, tetapi kita hanya mengamati kejadian atau peristiwa itu berlangsung. Misalnya, kita mengamati ketidakdisiplinan berlalu lintas atau anak-anak sekolah sering berkeliaran di luar jam sekolah atau juga pegawai negeri yang sering terlambat masuk kantor. Pengamatan ini bisa kita jadikan kajian kritis, tinggal bagaimana kita memandang atau dari sisi mana kita mengkaji hal tersebut.

3. Imajinasi.

Manusia mempunyai kemampuan berimajinasi, kemampuan membayangkan atau menghayal sesuatu. Orang boleh saja tidak mengalami langsung suatu peristiwa, tetapi dia bisa berimajinasi tentang peristiwa itu. Misalnya, orang itu tidak pernah masuk penjara, tetapi dia bisa mengkaji secara kritiss tentang kehidupan di penjara malah terkadang lebih dramatis dari orang-orang yang pernah masuk penjara.

4. Pendapat dan Keyakinan.

Setiap orang punya keyakinan. Misalnya, keyakinan tentang suatu hal tentang kampung yang harus hijau lestari, suatu kejujuruan yang harus dipelihara. Keyakinan ini dapat dijadikan daya kritis untuk melihat dan mencermati tentang suatu tulisan yang sedang dikritisi. Selain hal di atas, sumber informasi yang dapat dilakukan sebagai penelusuran informasi suatu kajian kritis, seperti berikut ini.
a. Manusia. Manusia dapat dimintai informasi secara tertulis atau lisan. Secara tertulis bisa dengan menulis surat, pembacaan karya tulisnya. Secara lisan, bisa dimintai keterangan dalam bentuk diskusi, ceramah, seminar, panel.
b. Organisasi. Sebagai sumber informasi, organisasi biasanya bekerja sebagai badan atau lembaga yang mengkhususkan diri dalam bidang terkait.
c. Literatur. Sumber informasi ini biasanya diperoleh melalui publikasi media cetak yang terbaca dengan jelas, atau bentuk mikro yang macamnya sangat majemuk.
d. Jasa Informasi. Dengan berkembangnnya era informasi, sumber ini memberi peluang untuk memberikan pelayanan informasi yang dibutuhkan, seperti; gambar, statistik, grafik, dan sebagainya.

5. Pemilihan Bahan Bacaan dalam Kajian Kritis.

Sumber-sumber bacaan yang dapat dirujuk sebagai dasar untuk perbaikan pembelajaran, menulis proposal dan laporan penelitian, atau menulis makalah atau artikel ilmiah antara lain: artikel dalam jurnal ilmiah, laporan penelitian, buku bacaan, prosiding seminar, artikel dalam buletin atau majalah populer, termasuk koran, artikel dalam internet, bacaan pidato, hasil wawancara dengan pakar atau dengan responden. Selain hal di atas beberapa pertimbangan lagi yang dapat dijadikan pijakan dalam pemilihan bahan kajian, yaitu:
a. Bahan bacaan untuk rujukan yang memiliki tingkat keilmiahan tinggi meliputi artikel dalam jurnal ilmiah, laporan penelitian, dan buku bacaan. Oleh karena itu, di dalam merujuk harus diutamakan memilih rujukan dari tiga macam di atas dibandingkan yang lainnya.
b. Selain itu diutamakan bahan bacaan artikel yang terbaru (up to date), minimal 5 tahun terakhir. Untuk buku bacaan yang sesuai masih dimungkan yang terbit 10 tahun terakhir.
c. Jurnal ilmiah juga memiliki tingkatan, mulai dari yang paling tinggi adalah jurnal internasional, jurnal ilmiah yang terakriditasi nasional, kemudian regional dan yang belum terakreditasi.
d. Perhatikan kesesuaian antara bahan bacaan yang akan dikaji dan dirujuk dengan kepentingan gagasan yang akan diteliti atau ditulis oleh penelaah.
e. Hal-hal yang umumnya diteliti, ditulis menjadi artikel atau makalah oleh para guru atau para peneliti dalam ilmu dan pembelajaran Bahasa Indonesia antara lain:
- tata kalimat (gramatikal)
- fenomena dialektika
- kesalahan-kesalahan yang umum dalam berbahasa Indonesia
- kesulitan dalam pengajaran bahasa


E. Pelaksanaan Kajian Kritis

Setelah dilakukan pemilihan bahan kajian yang akan dikritisi, maka langkah berikutnya ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu (1) mengidentifikasi informasi permukaan dari bacaan yang akan dikritisi, dan (2) menelaah informasi isi bacaan. Berikut ini masing-masing dijekaskan kedua hal tersebut.



1. Kajian Identifikasi Informasi Awal Bacaan.

Tujuan umum yang ingin dicapai dalam melakukan aktivitas membaca kritis ialah mencoba mengenali dan mengidentifikasi bagian ide yang paling penting dari sebuah materi bacaan serta mencoba mencatat organisasi penyajian bacaan tersebut. Langkah-langkah membaca kritis sebagai berikut.
a. Bacalah Judul dan Subjudul. Membaca judul sangat penting karena memberikan gambaran menyeluruh terhadap topik dari artikel atau bab yang akan dibaca, sementara subjudul menyediakan informasi yang lebih spesifik terhadap bahasan dari topik artikel atau bab itu.
b. Bacalah Pendahuluan atau Paragraf Pertama. Di sini Anda bisa memperoleh gagasan yang merupakan titik awal dari persoalan yang dibahas atau dieksplorasi dalam bab berikutnya.
c. Bacalah Heading yang Ditebalkan (Bila Ada). Yang dimaksud dengan heading di sini ialah sebuah kata atau frase atau statement yang berperan tidak lebih sebagai sub-subjudul. Heading merupakan inti dari bahasan dalam satu atau dua paragraf di bawahnya.
d. Bacalah Kalimat Pertama tepat di bawah Heading. Umumnya penulis menempatkan ide pokok bahasan sebuah paragraf di kalimat pertama.
e. Perhatikan Aneka Peranti Penulisan yang Mencolok lainnya. Biasanya dalam pembahasan sebuah paragraf, bab, atau bacaan terdapat sejumlah kata atau pernyataan yang ditebalkan, dimiringkan, ataupun digarisbawahi. Kalau menemukan hal demikian, alangkah baiknya juga Anda perhatikan, kerena kata itu mempunyai peran penting.
f. Bacalah Paragraf Terakhir atau Kesimpulan. Kesimpulan, penutup, rangkuman, ataupun paragraf terakhir sebuah tulisan menyediakan pokok pikiran sekaligus kata-kata kunci dari pembahasan sebelumnya.

2. Kajian Informasi Isi.

Dalam menelaah informasi isi bacaan untuk mendapatkan kesahian/keakuratan isi pesan yang disampaikan dalam suatu karya ilmiah ada empat aspek yang harus menjadi pijakan, yakni cara memahami isi bacaan, menangkap makna pesan, meyakini dan menyangkal isi pesan, dan kelengkapan isi pesan. Berikut ini diuraikan keempat hal tersebut.
a. Cara memahami isi bacaan secara cepat adalah dengan mengenali pokok pikiran setiap alinea/paragraf. Secara umum setiap alinea/paragraf memiliki pikiran utama sebagai pokok bahasan dalam alinea tersebut. Apabila pembaca dapat mengenali pikiran utama dari alinea yang dibaca, maka pada hakikatnya sudah dapat memahami maksud bacaan. Untuk bahasa Indonesia, pikiran utama biasanya terdapat pada awal atau akhir alinea.
b. Menangkap makna pesan yang terkandung dalam bacaan. Makna pesan adalah inti dari informasi yang disampaikan oleh penulis kepada pembaca. Caranya adalah dengan mengenali kata-kata operasional (sering disebut dengan ”predikat” pada pola kalimat SPO – Subyek Predikat Obyek) pada pikiran utama. Contoh: Apabila Saudara memiliki sebuah pikiran utama dari sebuah alinea: ”Peningkatan profesionalisme guru”, maka dapat dijelaskan bahwa kata operasionalnya adalah Peningkatan, karena: kata profesionalisme dan guru merupakan kata yang akan dikenai dengan kegiatan peningkatan, bukan kata peningkatan yang akan dikenai dengan kegiatan profesionalisme, atau kata peningkatan akan dikenai dengan kegiatan guru.
c. Meyakini atau menyangkal kebenaran isi bacaan, merupakan langkah yang paling sulit dari membaca kritis, karena pembaca harus memiliki kemampuan menjustifikasi. Untuk melakukan kegiatan tersebut pembaca harus mempunyai banyak informasi pendukung, mengetahui teknik-teknik mengutip tulisan, dapat melakukan logika universal, dan validasi informasi.
d. Sangat mungkin informasi yang diperoleh benar adanya, akan tetapi kurang lengkap. Terhadap informasi seperti ini pembaca harus mencoba mencari informasi kelengkapannya. Seandainya ternyata tidak ditemukan, maka sebaiknya tidak digunakan. Untuk mendapatkan kebenaran lebih dalam menelaah isi pesan, maka langkah pelaksanaan kajian kritis agar menjadi lebih berkualitas, maka pijakan selanjutnya adalah melakukan alur tahapan kajian kritis sebagai berikut.
1) Tetapkan tujuan utama pelaksanaan kajian kritis tersebut. Penetapan tujuan ini bergantung pada keinginan yang ingin dicapai.
2) Baca secara sepintas seluruh isi bacaan
3) Temukan kesesuaian antara isi pembacaan sepintas dengan tujuan yang hendak dicapai
4) Tetapkan pembacaan pemahaman akan dilanjutkan atau tidak
5) Baca secara cermat isi bacaan
6) Temukan informasi utama yang ada pada setiap paragraf
7) Cermati pandangan penulis dan pandangan orang lain dalam kutipan
Setelah mengkaji alur tahapan itu, maka tetapkan pendirian Anda, setuju atau tidak! Jika Anda telah setuju maka langkah berikutnya yang dilakukan!
8) Buat catatan kecil hasil pembacaan
9) Formulasikan ke dalam wacana hasil catatan kecil


3. Kajian Logika dan Penalaran Isi.

Untuk melihat pada kecermatan logika dan penalaran si penulisnya, ada sejumlah hal utama yang dapat dilakukan dalam mengkaji bacaan secara kajian kritis, sebagai berikut.
a. Temukan definisi atau pengertaian dasar yang digunakan penulisnya
b. Identifikasi model tulisan yang digunakan penulisnya
c. Temukan ilustrasi apa saja yang terdapat dalam bacaan


4. Kajian Aspek Kerangka dan Isi Bacaan.

Untuk menelaah pada aspek-aspek kerangka dan isi bacaan, maka rambu-rambu dalam melakukan kajian kritis bahan bacaan ilmiah diungkapkan dalam pertanyaan berikut ini.
a. Siapa penulis artikel? Guru atau dosen yang cukup berpengalaman; pengamat atau peneliti bahasa yang sudah berpengalaman (dilihat dari banyaknya tulisan yang dibuat dan dimuat oleh jurnal); pejabat di lingkungan departemen atau dinas pendidikan, atau yang lainnya.
b. Kapan artikel tersebut ditulis atau dimuat?
c. Bagaimana kategori atau jenis jurnal atau buletin memuat?
d. Bagaiman penataan kerangka berpikir yang dibuat oleh penulis?
e. Bagaimana urgensi masalah dan tujuan penulisan artikel?
f. Bagaimana teknik pelaksanaan penelitian atau khususnya dalam pengumpulan data?
g. Keterpercayaan sumber-sumber data yang digunakan atau dirujuk?
h. Bagaimana ketaatan penulis dalam mengikuti kaidah perujukan pendapat lain?
i. Bagaimana akurasi data-data primer atau sekunder yang digunakan oleh penulis?
j. Bagaimana teknik analisis data, baik secara deskriptif, kuantitatif, atau statistik?
k. Bagaimana kemampuan atau ketajaman penulis dalam membuat pembahasan berdasarkan hasil analisis data?
l. Bagaimana sistematika (urutan logika berpikir) yang ditunjukkan oleh penulis dari masalah, teknik pengambilan data, analisis data, pembahasan sampai pada kesimpulan?
m. Bagaimana kejelasan temuan yang dihasilkan dari penelitian atau kekuatan gagasan yang dimunculkan oleh penulis?
n. Bagaimana justifikasi atau rekomendasi yang dibuat oleh penulis berdasarkan hasil penelitian atau uraiannya?



BAB IV PENULISAN DAN PEMANFAATAN HASIL KAJIAN KRITIS



A. Kajian Kritis untuk Keperluan Praktis

Dua hal minimal yang dapat dipetik dari kegiatan kajian kritis. Pertama, kajian kritis dapat menguatkan wawasan bagi penulisnya. Informasi serupa dalam naskah yang dikritisi mungkin sudah pernah dibaca sebelumnya tetapi sudah tertimbun dalam memorinya sehingga informasi itu tidak lagi pernah dimanfaatkan dalam penyelesaian permasalahan yang dihadapinya. Dalam kondisi ini kajian kritis berfungsi mengingatkan dan menguatkan kembali konsep tersebut. Kedua, kajian kritis dapat memberi informasi baru bagi pengkritisi. Seiring dengan perkembangan konsep dan paradigma keilmuan dalam hal mana ilmu terus berkembang dan inovasi orang lain terus bertambah sementara kita terus disibukkan dengan tugas rutin sehari-hari sehingga tidak sempat mengikuti perkembangan itu menyebabkan kita tertinggal dari informasi baru tersebut. Melalui kajian kritis perkembangan baru itu dapat diikuti. Dalam kondisi seperti ini kajian kritis merupakan pembuka wawasan.
Baik fungsi kajian kritis sebagi penguat wawasan maupun sebagai pembuka wawasan, keduanya dapat memberi konstribusi positif dalam pengembangan gagasan untuk keperluan pengorganisasian tulisan. Berikut ini disajikan identifikasi isi suatu tulisan yang berpotensi dimanfaatkan dalam membangun gagasan dalam suatu tulisan. Berdasarkan isi tulisan terdapat dua kategori besar pemaparan gagasan yang dijumpai dalam suatu bacaan, yaitu berdasarkan penggagas dan berdasarkan strategi penyajian. Kedua hal ini lebih lanjut diuraikan di bawah ini.


B. Pemilahan Pandangan Penggagas

Dalam setiap tulisan dijumpai dua sumber gagasan, yaitu penulis dan orang lain yang dikutip pandangannya oleh penulis. Pengkritisi harus mampu membedakan bagian mana yang merupakan pandangan penulis dan bagian mana pula yang merupakan pandangan orang lain yang dikutip oleh penulis. Pembedaan keduanya dapat dilakukan melalui pengidentifikasian penanda bahasa yang digunakan. Penanda bahasa yang menunjukkan penguraian langsung penulis memiliki ciri yang sangat luas dan hampir-hampir tidak dapat diidentifikasikan. Berbeda dengan itu, penanda bahasa yang menunjukkan pendirian orang lain dalam tubuh suatu tulisan dengan mudah dapat diidentifikasikan. Untuk itu pemilahan kedua hal ini akan lebih mudah jika didasarkan atas pijakan pandangan orang lain yang terdapat dalam suatu tulisan. Lebih dahulu akan diuraikan penanda yang kedua, yakni pendapat orang lain. Setelah hal ini terdeskripsikan maka dapat ditarik garis bahwa di luar dari hal tersebut merupakan pandangan penulis. Beberapa penanda kutipan pendapat orang lain, adalah (1) Diawali atau diakhiri dengan pencantuman sumber kutipan, (2) Bila kurang dari tiga baris, biasanya diapit oleh tanda kutip; (3) Biasanya diawali dengan kata Menurut, misalnya, menurut Ali (2008:12) dan (4) Akhir dari kutipan biasanya diikuti oleh kalimat ”berdasarkan pandangan di atas atau berdasarkan pandangan Ali dapat dinyatakan bahwa... Adakalanya penulis menderetkan sejumlah pandangan ahli yang berbeda. Ciri utama dari penderetan pandangan itu adalah sejalan dengan pandang A, diikuti oleh penyebutan ahli lain. Misal. sejalan dengan Pandangan Ali, Mukhtar mengemukakan bahwa atau boleh jadi penulis mempertentangkan dua ahli yang ada. Misalnya, berbeda dengan pandangan Ali, Mukhtar mengemukakan bahwa .....
Ciri di atas merupakan ciri umum yang lazim dijumpai dalam sebuah karya tulis mengenai pencantuman kutipan dalam karya seseorang. Di luar dari hal tersebut gagasan itu merupakan paparan asli penulisnya. Kesulitan yang dapat dijumpai adalah pada bagian manakah yang merupakan batas penguraian antara pandangan orang lain dengan pandangan penulis? Setidaknya batas paragraf dapat menjadi penanda batas penguraian tersebut. Penanda lainnya adalah penulis menggunakan kata-kata tertentu sebagai awal
dari penjelasannya atau akhir dari penjelasan orang lain.
C. Identifikasi Strategi Penyajian Gagasan

Terdapat sejumlah strategi yang dapat dilakukan dalam pengembangan suatu gagasan. Ambo Enre (1994) menyebut strategi penyajian gagasan itu sebagai pengembangan paragraf. Sejumlah cara yang dapat dilakukan dalam penyajian gagasan itu adalah ilustrasi, argumentasi, analisis, perincian, perbandingan, dan definisi. Berikut ini diraikan satu persatu hal tersebut. Ilustrasi, penyajian gagasan dengan ilustrasi biasanya dilakukan dengan cara penguraian secara renik. Diawali dengan gagasan secara umum kemudian diikuti oleh renik-renik yang ada untuk memperjelas gagasan umum tersebut. Ilustrasi lebih lengkap bila disertai dengan contoh yang ada sehingga informasi umum tersebut dapat lebih jelas adanya.
Analisis, ciri utama analisis adalah penjabaran suatu konsep ke dalam sejumlah konsep bawahan dengan penguraian yang dilakukan secara lebih detail. Keberhasilan teknik analisis ditunjukkan oleh dilahirkannya suatu klasifikasi yang daripadanya terjelaskan keterkaitan antara konsep bawahan dengan konsep bawahan lainnya. Perincian, ciri utama perincian adalah penyajian sejumlah ciri yang dimiliki oleh suatu gagasan. Bedanya dengan analisis dan ilustrasi terletak pada kedalaman perinciannya. Perincian tidak mengungkap keterkaitan antara satu rincian dengan rincian lainnya sementara analisis memperhatikan keterkaitan tersebut. Perbedaannya dengan ilustrasi adalah perincian tidak diurai dengan contoh sementara ilustrasi akan semakin jelas bila disertai contoh dan asosiasi. Perincian hanyalah berupa deretan unsur yang membawahi konsep tertentu.
Perbandingan, ciri utama perbandingan adalah ditunjukkannya persamaan dan perbedaan mengenai suatu hal. Persamaan ditandai dengan kesejajaran konsep dan perbedaan ditandai dengan oposisi konsep. Definisi, ciri utama definisi adalah pembatasan lingkup konsep yang dimiliki oleh suatu kata atau istilah. Definisi dibangun oleh genus dan atribut. Genus merupakan golongan yang akan diberi batasan dan atribut merupakan pembatas dari genus yang akan didefinisikan.
Akhirnya, sebagai pembanding, pada lampiran disajikan pola-pola lain dalam menyampaikan gagasan.


D. Pemanfaatan Kajian Kritis dalam Penulisan Karya Tulis Ilmiah

Pemanfaatan kajian kritis dalam penulisan karya ilmiah adalah suatu yang mutlak yang harus dipahami dan dicermati seorang penulis atau yang sedang menulis bahkan penulis terkenal sekali pun. Dengan memanfaatkan kajian kritis, si penulis tersebut dapat menumbuhkan inspirasi, pemerkaya bahan tulisan, membangun gagasan dan strategi pengembangan tulisan yang sedang dikembangkan. Berikut ini diuraikan keempat hal tersebut dalam kaitan pemanfaatan kajian kritis dalam membangun karya tulis ilmiah yang berkualitas.


1. Kajian Kritis Sebagai Sumber Inspirasi.

Tidak jarang kita cemburu melihat kawan kita yang memiliki tulisan demikian banyak. Tulisannya bertebaran di surat kabar, majalah, atau di jurnal-jurnal. Sering pula kita jumpai teman yang seangkatan dengan kita melambung jauh kepangkatannya karena kegiatan pengembangan profesi yang dilakukan selalu lebih dari cukup. Sementara karena alasan rutinitas sehari-hari kita tak produktif melahirkan tulisan. Rasa ingin menulis demikian besar tetapi kita kehilangan inspirasi, topik apakah yang menarik untuk ditulis. Guru memiliki segudang pengalaman. Keluh kesah dan bahagia membaur menjadi satu ketika berhadapan dengan peserta didik di dalam kelas. Pengalaman ini sebenarnya merupakan sebuah samudera luas yang sangat disayangkan apabila terlewatkan begitu saja. Sukma besar untuk menuliskan pengalaman itu tak pernah padam dalam hati. Sebagai guru, selalu saja ada keinginan untuk menuangkan pengalaman itu dalam bentuk tulisan, hanya saja kebanyakan di antara mereka tak pernah mau memulai menuliskannya. Hasilnya tak pernah terwujud sebuah tulisan karena tak pernah memulai meletakkan kalimat yang pertama.
Sebenarnya persoalan apa yang dihadapi oleh sebagian guru kita yang memiliki beribu pengalaman tetapi miskin tulisan? Dari sisi akademik mereka adalah orang-orang terpelajar. Mereka bahkan adalah alumnus perguruan tinggi yang sebelumnya telah belajar menulis selama 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP, dan 3 tahun di SMA. Jawaban dari pertanyaan di atas adalah sebagian guru belum mencermati karakteristik penciptaan tulisan dan karakteristik tulisan itu sendri. Penciptaan tulisan membutuhkan sebuah ketelatenan karena menulis adalah sebuah keterampilan. Menulis adalah kegiatan mekanistik yang ditopang oleh kognitif. Menulis haruslah dilatihkan bukan diceritakan. Sebagai sebuah keterampilan, menulis dapat disetarakan dengan bersepeda. Seseorang tidak akan mungkin terampil bersepeda bilamana hanya memiliki pengalaman mendengarkan cara bersepeda. Keterampilan bersepeda bisa saja dimiliki tanpa mendengarkan cerita tentang cara bersepeda. Sebaliknya, keterampilan bersepeda dapat dimiliki dengan terjun langsung praktik bersepeda dengan konsekuensi lutut dapat menjadi lecet, dada tertubruk di setir, atau kaki keseleo karena tertindis sepeda. Cara inilah yang telah ditempuh oleh sejumlah penulis terkenal, seperti Buya Hamka, Rosihan Anwar, dan Arsewendo Atmowiloto.
Pemahaman karakteristik tulisan juga sangat penting dalam menumbuhkan keinginan menulis. Kunci pemerolehan karakteristik tulisan terletak pada kebiasaan membaca. Hanya melalui membacalah kita dapat berenang dalam indahnya karakteristik tulisan. Apalagi, bilamana kita sampai pada tingkatan membaca yang tertinggi, yakni membaca kritis. Pembaca kritis ditandai oleh munculnya reaksi terhadap isi wacana yang dibacanya. Pembaca kritis tidak hanya menyerap isi tulisan tetapi ia secara aktif bereaksi terhadap tulisan itu. Bentuk reaksinya dapat berupa kesetujuan, ketidaksetujuan, kekaguman, pujian, bahkan mungkin dalam bentuk makian.
Kembali ke persoalan mandulnya pena sebagian guru kita. Taufiq Ismail telah melansir sebuah pernyataan bahwa bangsa kita telah rabun membaca dan lumpuh menulis. Untuk bangkit dari kondisi ini salah satu cara yang dilakukan adalah mengajak guru-guru kita untuk melakukan kajian kritis terhadap sejumlah tulisan yang selama ini tersaji di hadapan kita. Dengan mengajak guru kita melakukan kajian kritis setidaknya dapat memberi momentum menulis pada dirinya dan diharapkan dapat terimbas ke peserta didiknya. Ada sejumlah alasan mengapa kajian kritis menjadi salah satu pilihan menumbuhkan inspirasi dalam menulis:
a. Hasil kajian kritis dapat memicu pilihan topik dari sekian banyak topik yang selama ini hendak ditulis oleh guru.
b. Hasil kajian kritis dapat menggugah kesetujuan dan ketidaksetujuan sehingga pengkritisi hendak menguatkan atau membantah bacaan yang dikritisinya
c. Hasil kajian kritis menghasilkan simpulan bahwa informasi dalam wacana itu belum lengkap sehingga pengkritisi hendak melengkapinya.
d. Hasil kajian kritis menunjukkan bahwa uraian dalam wacana berbeda dengan fakta yang dialami oleh pengkritisi sehingga dia hendak membentangkan yang seharusnya.
e. Hasil kajian kritis menunjukkan bahwa wacana itu belum memberi kepuasan kepada pembaca, sehingga pengkritisi hendak memuaskan pembaca.
f. Hasil kajian kritis menunjukkan bahwa informasi yang terdapat dalam wacana terlalu dilebih-lebihkan sehingga pengkritisi hendak menunjukkan yang proporsional.


2. Kajian Kritis Sebagai Pemerkayaan Bahan.

Kegiatan menulis adalah proses, yaitu proses penulisan. Ini berarti bahwa kita melakukan kegiatan itu dalam beberapa tahap, yaitu tahap prapenulisan, tahap penulisan dan tahap revisi. Pada tahap pertama, yaitu tahap prapenulisan maka di sinilah kita perlu pemerkayaan bahan-bahan yang layak dan sesuai dengan tulisan yang akan dikembangkan. Bahan-bahan yang layak tentu mempengaruhi kualitas dan pengembangan tulisan, khususnya pada langkah pertama, yakni topik aktual yang ingin dikembangkan. Tanpa, pemilihan dan penentuan bahan-bahan atau memperkaya bahan-bahan terasah agak sulit untuk menemukan topik yang aktual sekaligus mengembangkan kualitas tulisan pada dimensi data dan fakta serta ilustrasi sebagai pendukung utama suatu tulisan yang kreatif. Dalam penentuan sumber bahan dan sekaligus pemerkayaan bahan inilah, maka perlu suatu kajian kritis tentang kualitas bahan tersebut. Untuk menentukan kualitas bahan sekaligus pemerkayaan bahan, maka ada sejumlah hal-hal untuk menentukan kualitas bahan tersebut, sebagai berikut.
a. Apakah bahan bacaan memiliki tingkat keilmiahan tinggi meliputi artikel dalam jurnal ilmiah, laporan penelitian, dan buku bacaan.
b. Diutamakan bahan bacaan artikel yang terbaru (up to date), minimal 5 tahun terakhir. Untuk buku bacaan yang sesui masih dimungkin yang terbitan 10 tahun terakhir.
c. Tingkatan jurnal ilmiah yang ingin dipakai sebagai bahan rujukan, mulai dari yang paling tinggi adalah jurnal internasional, jurnal ilmiah yang terakreditasi nasional, kemudian regional dan yang belum terakreditasi.
d. Perhatikan kesesuaian antara bahan bacaan yang akan dikaji dan dirujuk dengan kepentingan gagasan yang akan diteliti atau ditulis oleh penelaah.
e. Cermati pemakaian bahasa Indonesia dalam bahan rujukan yang akan dipakai yang meliputi; tata kalimat (gramatikal), fenomena dialektika, kesalahan-kesalahan yang umum pemakaian bahasa Indonesia dalam bahan atau rujukan untuk memperkaya bahan tulisan.


3. Kajian Kritis Sebagai Pembangun Gagasan.

“Penulis yang Baik adalah Pembaca yang Baik” Benarkah? Setiap orang, termasuk guru sebagai pembangun kualitas anak bangsa, sudah pasti ada keinginan untuk menjadi penulis yang baik. Untuk mewujudkan keinginan menjadi penulis yang baik itu, maka langkah pertama, yang harus dia pikirkan, dia harus memiliki kemampuan membaca yang baik. Kenapa demikian? karena menjadi menulis yang baik, dia sebenarnya ingin mewujukan bahwa dirinya adalah pembangun gagasan yang baik. Oleh karena itu, untuk membangun gagasan tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan membaca. Ringkasnya, ‘penulis yang baik adalah pembaca yang baik’.
Nah, pada kegiatan membaca inilah, sebenarnya telah terjadi kegiatan mengkritisi suatu bacaan. Tujuan tidak lain, bagi calon penulis termasuk penulis terkenal pun, dalam rangka untuk membangun gagasannya agar tidak itu-itu saja dan sudah pasti membaca agar gagasan yang dibangunya lebih bermutu. Ringkasnya, orang yang senang baca pasti berwawasan luas! Berdasarkan hal di atas, ada tiga keuntungan mengkritisi suatu bacaan atau kajian krtis suatu bacaan, ketika orang mau membangun gagasannya dalam suatu tulisan yang kreatif.
a. Dengan mengkritis suatu bacaan membuat orang memperoleh informasi untuk membangun gagasan, memperkaya ide. Dengan demikian, apa yang ditulisnya dirasakan sebagai sesuatu yang menarik dan berharga.
b. Dengan mengkritis suatu bacaan, seorang penulis dapat mengetahui selera pembaca, berdasarkan gender, usia dan sosial, sehingga dia mampu membangun gagasannya ke arah hal itu.
c. Dengan mengkritisi suatu bacaan orang dapat membangun gagasan dengan jalan pintas untuk membangun gagasan. Dalam bentuk analognya, untuk mengetahui ditonjok teman itu sakit, orang tidak perlu menyuruh temannya untuk menonjok dirinya. Dia cukup bagaimana menahan rasa sakit dan marahnya yang ditonjok dengan bahasa tulis.


4. Kajian Kritis Sebagai Pemerkaya Strategi Pengembangan Menulis.

Tulisan yang indah adalah tulisan yang pembacanya mampu bertahan berjam-jam duduk menelusuri ide demi ide dalam wacana tanpa pernah beranjak dari tempatnya. Lebih berhasil lagi bilamana pembaca mampu di buat menunda pekerjaan pentingnya karena alasan ia belum menyelesaikan bacaannya. Hanya penulis yang punya pengalaman dalam yang mampu membuat tulisan seperti ini. Seperti dikemukakan pada bagian sebelumnya bahwa menulis merupakan sebuah keterampilan. Hal ini berarti menulis itu dapat dipelajari dan sesuatu yang bisa dipelajari pastilah bisa dimiliki oleh siapa saja yang mau mempelajarinya. Pandangan ini menguatkan bahwa siapa saja bisa sampai kepada penciptaan suatu tulisan yang mampu membuat pembacanya mampu bertahan berjam-jam dan bahkan mampu membuat pembaca menunda pekerjaan pentingnya karena alasan belum menyelesaikan bacaannya.
Masalahnya sekarang adalah bagaimana menghasilkan sebuah tulisan yang berkategori indah? Jawaban sederhana yang teoretis dari pertanyaan ini adalah buat tulisan kamu menjadi variatif, sajikan kohesi dan koherensi secara apik, dan urai topik yang aktual. Lalu bagaimana caranya? Di sinilah hasil kajian kritis memberi peran yang tidak sedikit. Dua hal penting yang perlu dicermati dalam kajian kritis, yaitu bentuk penyajian dan gagasan yang kembangkan penulisnya. Salah satu yang berkenaan dengan bentuk penyajian adalah strategi penyajian dan yang berkenaan dengan gagasan adalah aktualitas dan kebermanfaatan gagasan yang dikembangkan.
Kajian kritis memberi peran yang penting dalam pemerkayaan strategi tulisan didasari oleh sifatnya dasar kajian kritis, yaitu eksplorasi informasi melalui sejumlah bacaan. Asumsi yang mendasarinya adalah makin banyak bacaan yang dieksplorasi makin kaya pula strategi penulisan yang diperoleh. Kajian kritis memberi peluang untuk menyadap berbagai strategi yang telah digunakan oleh penulis sebelumnya. Agar kajian kritis dapat berkonstribusi langung terhadap penciptaan tulisan yang variatif dan menarik, pengkritisi perlu menyediakan waktu untuk turut menelaah strategi yang digunakan penulis dalam membangun gagasannya. Ada sejumlah strategi yang perlu dicermati oleh pengkritisi dalam suatu bacaan, yaitu:
a. Strategi pengorganisasian gagasan sebagai pembuka, isi, dan penutup
b. Strategi pengembangan paragraf
c. Strategi pemokusan atau penekanan gagasan
d. Strategi penataan alur pikir
e. Strategi gaya penulisan
f. Strategi penyapaan pembaca

Melalui kajian kritis sejumlah strategi di atas dapat ditelaah pada wacana yang dikritisi. Setiap penulis memiliki strategi yang biasanya berbeda. Pengkritisi yang dengan cermat memperhatikan strategi tersebut, pada tahap awal dapat mengadopsi strategi yang telah digunakan oleh penulis lain yang pada saatnya nanti pengkritisi pemula akan menemukan gayanya sendiri yang menjadi karakteristik tulisannya. Ketika pengkritisi itu sudah sampai pada penemuan jati dirinya dalam penciptaan tulisan, ketika itu pengkritis itu sudah beranjak dari penulis amatir ke penulis profesional dan hal ini dapat diraih melalui pengintesifan kajian kritis.


Lampiran.

Garis Besar Urutan Penyajian Gagasan


A. Pengantar

Sumber bahan yang digunakan untuk mengurai materi urutan penyajian gagasan ini adalah buku Connors, R. dan Glenn, C. (1999), The New St. Martin’s Guide to Teaching Writing, Bedford, N.Y. Di suatu bagian, penulis buku dapat dikatakan membagi tulisan dengan spektrum populer sampai ilmiah/sangat baik. Spektrum tersebut dapat disajikan ke dalam tabel berikut.

Tabel Spektrum Tulisan

Gaya Keluasan Pertanggungjawaban
Baku (frozen)
Formal
Konsultatif
Kasual
Akrab Luwes (genteel)
Sejati (puristic)
Standar
Lokal
Populer Sangat Baik
Lebih Baik
Baik
Cukup Baik
Dapat Diterima

 Maisng-masing dari jenis spektrum tersebut dapat mempunyai urutan klasik atau urutan non-klasik. Kedua jenis urutan penyajian tersebut disajikan sebagai berikut.


B. Urutan Penyajian Klasik

 Urutan penyajian klasik terdiri atas 3, 4 atau 5 bagian. Menurut Aristoteles, suatu keseluruhan adalah sesuatu yang mempunyai awal, tengah dan akhir. Sejumlah pertanyaan yang umumnya diajukan setelah membaca suatu bacaan yang terdiri atas awal, menengah dan akhir adalah sebagai berikut.
1. Apa yang disampaikan oleh bagian awal bacaan?
2. Bagaimana bagian awal tersebut ’mengikat’ pembaca untuk terus membaca?
3. Bagaimana anda dapat membantu penulis untuk memperbaiki bagian awal tersebut?
4. Apakah bacaan diakhiri dengan sesuatu yang mengesankan? Atau akhir bacaan meluncur ke ketidakjelasan atau berakhr dengan tiba-tiba?
5. Jika anda yang harus menyimpulkan bacaan, apa yang akan anda tulis?
6. Dapatkah anda membantu penulis memperbaiki kesimpulan bacaan?

 Penyajian yang terdiri dari 4 bagian, menurut Aristoteles, mengurai pendahuluan, pernyataan fakta, konfirmasi atau argumen dan penutup (epilog). Sementara itu, Penyajian yang terdiri atas 5 bagian merupakan pengembangan dari penyajian yang terdiri atas 4 bagian. Ke lima bagian tersebut adalah pendahuluan (exordium), pernyataan fakta (narratio), konfirmasi (confirmatio, bukti-bukti dari materi yang disajikan), kontras argumen yang bertentangan (reprehensio) dan kesimpulan (peroratio). Atau menurut Blair (1783), ke lima bagian tersebut adalah pendahuluan (exordium), pernyataan dan kategorisasi materi, narasi atau penguraian, penalaran atau argumen, bagian emosional (pathetic) dan kesimpulan. Ada pun pertanyaan-pertanyaan yang umum diajukan dalam bagian-bagian penyajian yang terdiri atas 4 bagian penyajian adalah sebagai berikut:
1. Pendahuluan
 Apakah kalimat pertamanya membangkitkan minat pembaca?
 Apakah materi uraian didefinisikan dengan jelas?
 Apakah pendauluan terlalu panjang?
 Apakah pendahuluan ditujukan pada kelompok pembaca tertentu? Siapa kelompok
 tersebut?
 Apakah pembaca dimotivasi dan termotivasi untuk terus membaca? Mengapa?
2. Pernyataan fakta.
 Apakah bagian ini menjelaskan sifat dasar masalah atau situasi yang akan diurai?
 Adakah sesuatu yang tidak diurai tapi sebenarnya ingin kita kita ketahui?
 Apakah masalah atau situasi terus membuat saya tertarik?
3. Konfirmasi
 Apakah argumennya meyakinkan dan dapat dipercaya?
 Apakah urutan penyajian nampak masuk akal?
 Adakah ada argumen yang terlewat?
 Apakah gagasan penentangnya terjawab dengan memuaskan?
4. Kesimpulan
 Apakah uraian materi diringkas dengan baik?
 Apakah saya dapat menyukai penulisnya? Atas dasar apa?
 Apakah bagian akhir ini nampak ditulis dengan baik?


C. Urutan Penyajian Non-Klasik

1. Urutan Penyajian Pemecahan Masalah Larson
 Urutan penyajian pemecahan Larson terdiri atas langkah-langkah sebagai berikut.
a. Mendefinisikan masalah.
b. Memastikan mengapa masalah menjadi sumber kesulitan.
c. Merinci berbagai tujuan pemecahan masalah.
d. Mencari prioritas tujuan pemecahan masalah.
e. Menemukan prosedur yang dapat diimplementasikan untuk mencapai tujuan.
f. Memprediksi hasil dari setiap tindakan yang mungkin.
g. Mengkaji prediksi.
h. Evaluasi akhir untuk menentukan pilihan pemecahan masalah terbaik.

2. Urutan Penyajian Paradigmatik D’Angelo
a. Narasi: Narasi mengurai peristiwa/insiden berurutan secara kronologis. Paradigma abstraknya adalah sebagai berikut.
Pengantar (yang meliput waktu, tempat, pelaku dan awal tindakan)
Peristiwa/Insiden 1
Peristiwa/Insiden 2
Peristiwa/Insiden 3
Dst.
Kesimpulan.
b. Proses: Proses adalah sederet tindakan, fungsi, langkah atau operasi yang membawa suatu akhir atau hasil tertentu. Paradigma abstraknya adalah sebagai berikut.
Pengantar (tesis –biasanya hal yang sederhana)
Langkah/fase 1
Langkah/fase 2
Langkah/fase 3
Dst.
c. Sebab-akibat: Sebab akibat pada dasarnya berbicara tentag pengaruh sesuatu atas sesuatu yang lainnya. Paradigma abstraknya (induktif atau deduktif) adalah sebagai berikut.
Induktif
Pengantar (termasuk tesis).
Sebab (Sebab 1,2,3, dst.).
Akibat (Akibat 1,2,3, dst.).
Kesimpulan.
Deduktif
Pengantar (termasuk tesis)
Akibat (Akibat 1,2,3, dst.).
Sebab (Sebab 1,2,3, dst.).
Kesimpulan.
d. Deskripsi: Deskripsi adalah cara menggambarkan image secara verbal atau lisan serta mengurutkannya dengan logika atau pola asosiasi/kategorisasi tertentu. Kategorisasi tersebut dapat berupa (1) vertikal (dari atas ke bawah atau sebaliknya), (2) horizontal (dari kiri ke kanan atau sebaliknya), (3) kedalaman (dari dalam ke luar atau sebaliknya) dan (4) sirkular (searah putaran jarum jam atau sebaliknya). Jadi, paradigma abstrak untuk urutan vertikal, misalnya, adalah sebagai berikut.
Pengantar (termasuk tesis)
Unsur 1 (bagian atas objek atau pemandangan).
Unsur 2 (bagian tengah objek atau pemandangan).
Unsur 3 (bagian bawah objek atau pemandangan).
Dst.
Kesimpulan.
e. Definisi: Definisi pada dasarnya adalah memberi batasan pada sesuatu atau menyatakan hakekat esensialnya. Spesies atau istilah yang akan didefinisikan selalu adalah anggota dari genus/kelas lebih besar dan dibedakan dari genus lain dengan diferensia. Contoh:
 Spesies Genus Diferensia
 Mencukur adalah proses memotong rambut dengan gaya tertentu
 Paradigma abstraknya adalah sebagai berikut.
Pengantar (termasuk definisi logis)
Pengembangan genus.
Pengembangan diferensia.
Kesimpulan.
f. Analisis: Analisis adalah pemilahan sistematis keseluruhan menjadi bagian atau kepingan. Paradigma abstraknya adalah sebagai berikut.
Pengantar (termasuk tesis)
Karakteristik/bagian 1
Karakteristik/bagian 2
Karakteristik/bagian (3, 4, dst.).
Kesimpulan/Ringkasan.
g. Klasifikasi: Klasifikasi adalah proses mengelompokkan gagasan atau objek atas dasar kesamaan karakteristik. Paradigma abstraknya adalah sebagai berikut.
Pengantar (tesis termasuk dasar pengelompokkan dan daftar jenis atau kelas yang ditemukan)
Sub-kelas 1
Sub-kelas 2
Sub-kelas 3
Dst.
Kesimpulan/ringkasan.
h. Uraian (exemplifikasi): Uraian adalah proses memberi ilustrasi prinsip, pernyataan atau hukum umum dengan menrinci contoh-contoh spesifik yang menjelaskan generalisasi. Paradigma abstraknya adalah sebagai berikut.
Pengantar (termasuk generalisasi)
Contoh 1
Contoh 2
Contoh 3
Dst.
Kesimpulan.
i. Perbandingan (Komparasi): Perbandingan adalah proses memeriksa dua objek atau lebih untuk memastikan kesamaan dan kebedaannya. Paradigma abstraknya adalah sebagai berikut.
Pola Setengah-Setengah
Pengantar (termasuk tesis, kerangka perbandingan)
Subjek 1
  Karakteristik 1
  Karakteristik 2
  Dst.
Subjek 2
  Karakteristik 1
  Karakteristik 2
  Dst.
Kesimpulan.
Pola Karakteristik
Pengantar (termasuk tesis, kerangka perbandingan)
Karakteristik 1
  Subjek 1
  Subjek 2
  Dst.
Karakteristik 2
  Subjek 1
  Subjek 2
  Dst.
Kesimpulan.
j. Analogi: Analogi adalah perluasan metafora. Analogi adalah sejenis inferensi logis yang didasarkan pada premis bahwa jika dua objek serupa satu dengan hal lainnya dalam hal tertentu, maka keduanya juga mungkin mempunyai keserupaan dalam hal-hal lainnya. Paradigma abstraknya adalah sebagai berikut.
Pengantar
Subjek 1 serupa dengan subjek 2 dalam hal a.
Subjek 1 serupa dengan subjek 2 dalam hal b.
Subjek 1 serupa dengan subjek 2 dalam hal c.
Dst.
Kesimpulan.








Senin, 23 November 2009.

Akibat Lubang Hitam LHC, Kiamat Terjadi Sebelum 2012?

Pemukul partikel terbesar, Large Hadron Collider (LHC) kembali dijalankan setelah 14 bulan diperbaiki. Mesin pencari asal muasal jagad raya tersebut bisa mempercepat kiamat. Penyalaan ulang LHC pada Jumat (20/11) malam lebih cepat dari yang diharap-kan. Mesin dirancang untuk menabrakkan sinar proton agar menciptakan kondisi beberapa saat setelah momen penciptaan jagad raya yang biasa disebut dengan nama Big Bang. Mesin diluncurkan dengan gegap gempita tahun lalu. Namun hanya sembilan hari setelah peluncuran, mesin itu mengalami kegagalan spektakuler akibat sambungan listrik yang buruk.
Hari pertama peluncuran tahun lalu berjalan sangat baik. Sinar proton dengan cepat dikirim dalam dua arah, dan mengejutkan banyak ilmuwan di seluruh dunia. Tapi sembilan hari kemudian satu sambungan listrik terlalu panas karena soldernya yang buruk dan akhirnya bencana melanda. Lima puluh tiga dari 1.624 superkonduksi besar, beberapa di antaranya sepanjang 50 kaki rusak dan harus diganti. Penahan listrik yang memegang wadah helium cair digunakan untuk menjaga collider pada suhu lebih dingin dari angkasa luar untuk efisiensi maksimum. Ternyata enam ton helium bocor sehingga memperbesar tekanan pada katup dan menambah kerusakan.
LHC yang berada di bawah Alps, di perbatasan Swiss dan Prancis, merupakan percobaan fisika terbesar di dunia. Biaya konstruksi untuk pembangunan fasilitas ini mencapai US$ 8,8 miliar, didanai oleh European Organization for Nuclear Research (CERN), bekerja sama dengan ribuan universitas dan laboratorium di seluruh dunia. CERN akan merekaya ulang terbentuknya tata surya beberapa detik setelah Big Bang. Selama ini, Big Bang diyakini sebagai teori terbentuknya jagad raya secara instan. LHC akan menguji coba bermacam prediksi fisika berenergi tinggi dengan menembakkan proton berkecepatan tinggi. Tapi kritikus menilai LHC yang mampu mempercepat partikel hingga 99,99% kecepatan cahaya membuat triliunan derajat panasdan dapat menimbulkan apa yang disebut lubang hitam yang dapat menelan bumi.
Ketakutan tertelannya bumi berujung pada gugatan European Convention of Human Rights terhadap 20 negara, termasuk AS yang mendanai proyek. Ketakutan pada munculnya lubang hitam itu menyebabkan LHC disebut sebagai mesin Bing Bang untuk mengungkap teori mengenai penciptaan jagad raya tapi juga disebut sebagai Mesin Kiamat. Apakah kita perlu khawatir? CERN telah membersihkan jelaga seperti debu sehingga tidak ada yang akan menghalangi sinar proton lewat. "Tahun lalu adalah bencana, tidak ada yang meragukan tentang tersebut," kata Chip Brock, seorang profesor fisika di Michigan State University . Namun dia mengatakan CERN telah mengambil sejumlah langkah-langkah inovatif untuk menghindari bencana dimaksud terulang. "Masalah tersebut tidak akan terjadi lagi," imbuhnya. (Sumber: http://www.ristek.go.id, inilah.com/ humasristek).





Artikel Ilmiah

Perhatikan kutipan berikut!

Etos Kerja Guru

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak tertahankan. Arus informasi semakin deras membuat dunia seakan-akan menjadi sempit dalam era globalisasi ini. Semua hal itu membawa dampak pada semua bidang kehidupan manusia, termasuk bidang pendidikan. Bidang pendidikan ikut termotivasi untuk berbenah diri agar tidak ketinggalan jaman (Jurnal Ilmu Pendidikan, November 1999, Jilid 6, No. 4, hal 276).

 Dari kutipan tersebut Anda dapat melihat cara membuka atau memulai pendahuluan tulisan karya ilmiah. Pendahuluan kadang-kadang sangat luas sehingga kita tidak dapat menebak apa yang menjadi kajian utama tanpa membaca judul artikel atau sebelum selesai membaca bagian pendahuluan. Struktur penyajian seperti itu memang merupakan ciri khas struktur penyajian karya ilmiah. Karya ilmiah tidak mungkin dimulai dengan bagian tengah, bagian yang menarik atau bagian inti. Tentu juga bahwa karya ilmiah tidak mungkin mulai dengan bagian kesimpulan. Pendeknya, penulis karya ilmiah harus mematuhi berbagai persyaratan penulis karya ilmiah.
 Penulis karya ilmiah harus memulai karya ilmiah dengan suatu pembuka. Pembuka biasanya berupa latar belakang yang diambil dari situasi atau masalah yang erat kaitannya dengan topik yang akan dibahas. Dari pembuka, penulis secara berangsur-angsur mengemukakan topik pokok. Penulis harus sabar. Dia tidak dapat langsung menyampaikan inti karya ilmiah yang ditulisnya. Dia harus mulai dengan tata urutan yang sudah merupakan kesepakatan.
 Bagian inti atau pokok pembahasan karya ilmiah merupakan bagian paling panjang dalam sebuah karya ilmiah. Skripsi, tesis, dan disertasi biasanya mencantumkan beberapa bab yang dapat disebut bagian inti, sedang artikel mungkin mencantumkan beberapa subtopik. Di dalam bagian inti termasuk berbagai teori yang digunakan sebagai rujukan pembahasan. Bagi pembaca, bagian inti merupakan bagian yang paling penting untuk mengetahui secara terperinci proses pemikiran yang dikemukakan penulis (Diadaptasi dari Wardani, I.G.A.K. dkk. 2008: 1.22-1.24 yang mengutip Artikel Ilmiah, Jurnal Ilmu Pendidikan, November 1999, No. 4, hal. 276-278).



Masih Relevankah Ujian Nasional?


 Dalam banyak leteratur tentang pentingnya pengujian dan tes baku seperti ujian nasional (UN), visi yang paling mendasar adalah berkaitan dengan ekuitas, baik dalam terminologi kesempatan maupun outcome. Ekuitas tidak terlihat di Indonesia dalam hal tingkat dan kecukupan dana antar kabupaten/kota dan antar propinsi, kemauan politik dan kapasitas fiscal dan dalam variasi sistematik peserta didik dari sisi latar belakang keluarga (etnisitas, bahasa dan tingkat penghasilan) dan geografis (desa, suburban dan urban).
  Problem dengan UN kita adalah pemerintah belum secara maksimal menganalisis dan meriset dengan baik aspek ekuitas dalam konteks menyiapkan standar minimum yang harus dipenuhi. Hak dasar tersebut menjadi penting dalam rangka memperbaiki logika yuridis pemerintah dalam menerjemahkan ‘pencapaian standar nasional’ pendidikan. Dalam bahasa Elmore dan Fuhrman (2001), pemerintah semestinya secara teliti dan bijaksana memberi advokasi dan pendampingan dengan benar kepada sekolah untuk memperbaiki kinerja mereka secara bertahap dan penuh tanggungjawab. Efek pengujian semacam UN hanya membuat guru bekerja lebih keras dan meluangkan waktu lebih banyak bukan untuk meningkatkan mutu pembelajaran, tapi hanya untuk mengejar nilai semata-mata.
 Selain itu, pemerintah juga harus menyadari dalam praktiknya, UN memunculkan fenomena baru dalam pembiayaan pendidikan. Kita semua seperti berlomba menghabiskan dana pendidikan untuk pencapaian sebuah nilai, bukan pencapaian tujuan. Dalam sejumlah studi, ditemukan bahwa biaya terbesar yang dikeluarkan orang tua peserta didik dan masyarakat dalam pendidikan mereka ternyata bukan pembiayaan untuk sekolah. Biaya terbesar dikeluarkan di pusat-pusat bimbingan relajar yang mengajarkan kepada anak-anak kita konsep dengan cara drilling, serba instan, fokus sexta dan disiplin untuk tujuan skor. Sudah saatnya biaya pendidikan dialihkan, spend money to support goal, not scores (Keluarkan biaya untuk mencapai tujuan, bukan untuk mencari skor tinggi).(Diadaptasi dari Baedowi, (2009), Mencari (cari) Relevansi Ujian Nasional, Media Indonesia, 30 November 2009).





Teori Evolusi Semakin Meyakinkan: 150 Tahun “On the Origin of Species”
Oleh: Tommy Awuy, Dosen Filsafat, Universitas Indonesia


 Teori evolusi sejak terbitnya buku Charles Darwin, On the Origin of Species, 24 November 1859, hingga sekarang menunjukkan perkembangan yang kian meyakinkan, bukan saja bagi ilmu biologi itu sendiri, tapi juga merambah ke berbagai disiplin lain seperti periklanan, seni rupa, teknologi komputer, terorisme. Pendeknya, ahli biologi kini cenderung gemar berbicara tentang kebudayaan. Terlebih lagi ketika terbit buku Richard Dawkins, The Selfish Gen, 1976, yang melengkapi kekurangan penjelasan Darwin tentang seleksi alamiah, yakni dengan konsep mem, kemampuan atau daya otak untuk meniru (mimesis). Konsep evolusi Darwin menekankan kerja replikasi gen progresif menuju kesempurnaan. Hanya saja, replikasi tersebut tidak menjawab bagaimana replikasi memproses otak manusia yang menjadikannya menjadi spesies paling berbudaya.
Kebudayaan tidak semata merupakan hasil kreasi pikiran demi progresivitas. Kebudayaan juga adalah sebuah daya untuk mempertahankan apa yang dianggap terbaik di masa lalu (repetitif, pengulangan). Apakah kreasi budaza jama dahulu kala seperti arsitektur, lukisan di goa-goa, patung dan mitologi rendah kualitasnya dibanding dengan kreasi budaza kontemporer? Dawkin melengkapi teori Darwin dengan menyatakan bahwa evolusi bukan hanya disebabkan oleh replikator gen, tapi ada replikator lain, yaitu mem. Replikator gen bekerja secara imanen dalam arti sekali pun memperbanyak diri tetap mempertahankan identitasnya sebagai rangkaian DNA. Sementara itu, mem adalah replikator proses kerja otak yang berfungsi secara luwes tanpa batasan waktu dan tempat dan dapat melompat ke otak-otak lainnya layaknya virus pikiran.
Mem membutuhkan wadah kolektif (lembaga) sebagai efek daya tularannya agar dapat menyangga atau menopang cara bertahan dan mungkin saja pada saat tertentu replikasi mem berlangsung bersamaan dengan replikasi gen. Jadi, pada dasarnya, sebuah kebudayaan terbentuk tanpa harus terhalang oleh keinginan gen mencapai kesempurnaan. Hubungan gen dan mem bersifat kompleks. Di satu sisi, mereka sama-sama replikator yang memungkinkan terjadinya evolusi. Tapi, di sisi lain keduanya dapat bersebrangan atau bahkan saling mengatasi satu atas lainnya. Replikasi gen nampak monoton mencapai kesempurnaan, sementara replikasi mem bersifat radikal, dikotomistik dan provokatif: baik-buruk, benar-salah, mengancam-merayu, surga-neraka (Kompas, 29 November 2009).





Sebuah Kota Sebuah Tanda
Oleh: Putu Fajar Arcana


Bentuk apreasiasi paling sederhana (meski agar norak) dari publik awam terhadap karya seni tentu saja berfose di dekat karya tersebut untuk difoto. Mereka tidak segan-segan menirukan gaya sebuah patung agar terkesan akrab dan atraktif. Selepas Mendiknas, M. Nuh membuka pameran, Exposigns, Rabu (25/11) untuk merayakan 25 Tahun Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, para pengunjung merogoh tustel untuk mengabadikan diri mereka di depan karya-karya para perupa. Bahkan sejumlah pengunjung seperti histeris berlari dari karya satu ke karya lainnya seraya meminta siapa saja di dekat mereka untuk mengabadikan gaya mereka di dekat karya perupa. Ingatlah sebauh kota di mana kita sebagai wisatawan pertama kali berkunjung. Histeria pertama-tama terhadap kota bukan pada keelokan lanskap, tetapi pada bagaimana kehadiran kita menjadi abadi. Tak segan-segan ratusan foto kita ambil.
Penampilan perupa dari lima dekade membuktikan beberapa hal penting. Pertama, sejak kelahiran ISI (dulu Akademi Seni Rupa Indonesia/ASRI) para perupa Yogyakarta merupakan penanda beda dari arus Institut Teknologi Bandung (ITB). Kedua, Exposigns membuktikan bahwa pendidikan seni tidak sepatutnya dicap sebagai pendidikan pilihan terakhir, setelah kedokteran, hukum, ekonomi dan pertanian. Karya-karya perupa diapresiasi dengan sangat tinggi di dalam pasar lukisan dan balai lelang dunia. Selain itu, mereka membuat nama Indonesia harum di dunia internasional. Ketiga, pameran membuktikan bahwa seni rupa Indonesia bergerak mengikuti arus besar pergerakan seni rupa dunia. Lebih dari itu, mereka tidak serta merta ’menduplikasi’ aliran-aliran yang ada, tetapi ’menjinakan’ seluruh kecenderungan perupa dunia ke dalam ’semangat’ yang sangat Indonesia.
Akhirnya, bolehlah kita kemudian perlakukan pameran sebagai sebuah tanda, sebuah pencapaian artisitik dan estetik yang terus akan tercatat dalam sejarah seni rupa modern dunia. Exposigns memang tidak berambisi menunjukkan dan membaca kecenderungan perupaan di Tanah Air. Pameran telah mendokumentasi lima dekade perupa yang menempuh pendidikan di ISI Yogyakarta ke dalam buku katalog setebal 600 halaman lebih. Pameran juga menjadi tanda bahwa para perupa bisa juga disiplin dan mudah dipersatukan dengan isu ’pencetakan’ sejarah. Katalog yang dicetak ribuan exemplar bisa (lahir) menjadi ’direktori’ seni rupa Indonesia, kini dan nanti (Kompas, 29 November 2009).






DAFTAR PUSTAKA


Baedowi, A. (2009), Mencari (cari) Relevansi Ujian Nasional, Media Indonesia, 30 November 2009).

Ball, S.J. (1987), The Micro-Politics of the School: Towards a Theory of School Organization, Methuen, N.Y.

Connors, R. dan Glenn, C. (1999), The New St. Martin’s Guide to Teaching Writing, Bedford, N.Y.

Hawkes, T. (1977), Structuralism and Semiotics, Methuen and Co. Ltd., London.

Kleden, I. (2001), Menulis Politik: Indonesia sebagai Utopia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Poedjosoedarmo, S. (2001), Language Teaching Approaches and Advanced Level of Language Competence. Makalah dalam Seminar on Language and Culture, Sanata Dharma University, August 25.

Severin, W.J. dan Tankard, J. W.(1988) 2nd, Communication Theories: Origins, Methods, Uses, Longman, N.Y.

Soewandi, A.M.S. (1994), Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing: Tujuan, Pendekatan, Bahan Pengajaran dan Pengurutannya. Makalah pada Konferensi Internasional Pengajaran bahasa Indonesia bagi Penutur Asing di Universitas Kristen satya Wacana, 20-23 Januari.

Soewandi, A.M.S. (1993), Pembelajaran Bahasa Indonesia di Program SEASSI, di Seattle, Universitas Washington.

Thoha, M. (2005), Birokrasi Politik di Indonesia, PT RajaGrafindo, Jakarta.


Fachruddin, A.E, Prof, Dr. 1994. Dasar-Dasar Keterampilan Menulis. Penerbit IKIP Ujung Pandang.

Titscher, Stefan. 2000 Metode Analisis Bacaan & Wacana. Editor. Prof. Dr. Abdul Syukur Ibrahim. Pustaka Pelajar. Jakarta

Suharjono. 2007. Karya tulis Ilmiah (KTI) Pada Kegiatan Pengembangan Profesi Guru. Depdiknas. Jakarta

Hidayat, Dedy N. 2003. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Bacaan Media. LkiS. Yogyakarta

Hasri, Muhammad. 2009. Kebangkitan Bahasa Indonesia. (Artikel belum terbit). LPMP SUMSEL.

Suewandi, Slamet A.M. 2007. Belajar Bahasa Indonesia dengan Diskusi. Universitas Sanata Darma




GLOSARIUM


Artikel : Tulisan yang memuat suatu gagasan atau suatu topik bersifat semipopuler
Kajian Kritis : Telaah yang dilakukan terhadap suatu bacaan dengan maksud memahami lebih dalam pada bentuk dan isi bacaan tersebut
Kajian Kritis Praktis : Telaah yang dilakukan terhadap suatu bacaan dengan tujuan untuk dimanfaatkan dalam menghasilkan suatu tulisan.
Kajian Kritis Teoritis : Telaah yang dilakukan terhadap suatu bacaan dengan tujuan untuk mengapresia lebih jauh bentuk dan isi.
Pengkritis : Orang yang melakukan pengkajian kritis terhadap suatu bacaan dalam.
PTK : Singkatan dari penelitian tindakan kelas, yaitu suatu jenis penelitian yang didesain untuk memperbaiki pembelajaran di dalam kelas dengan ciri utama pelaksanaan dilakukan lebih dari satu siklus dan tiap siklus terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi.
Telaah Isi : Kajian yang dilakukan untuk menangkap informasi dalam suatu bacaan
Telaah Bentuk : Kajian yang dilakukan dengan penekanan pada cara penyajian gagasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar